PIMPINAN Keuskupan-keuskupan Gereja Katolik di Tanah Papua yang membentuk satu “Provinsi Gerejawi Merauke” mengadakan pertemuan tahunan di Jayapura, 22 – 26 Februari 2021. Sehari sebelum mengakhiri pertemuan itu, pada Kamis (25/2), mereka menggelar jumpa pers untuk menyampaikan kepada publik beberapa pokok pemikiran penting sebagai hasil pergumulan bersama selama berlangsungnya pertemuan tahunan itu.Intinya: Untuk Papua yang Adil dan Damai bagi semua orang!
Berbagai permasalahan bersama dalam kehidupan publik (sosial, ekonomi, politik dan Kamtibmas) yang menyentuh rasa adil dan damai dipaparkan secara terang-benderang, disampaikan kritik konstruktif dan diajukan saran penyelesaiannya yang santun, elegan dan bermartabat.
Pimpinan Gereja Katolik di Tanah Papua, sangat menyadari bahwa, Gereja Katolik (umat dan pemimpinnya) hidup dan berkarya di Tanah Papua, dalam konteks Papua, bersama dan untuk semua orang lintas suku, daerah, ras, agama, golongan, tempat kelahiran, pilihan politik dan sebagainya.
Paham atau kosa kata “pribumi dan bukan pribumi, samasekali tidak terdapat dan tidak dikenal pula di dalam “kamus” Gereja Katolik di Tanah Papua. Kosa kata itu pun samasekali tidak ditemukan di dalam “Pernyataan Bersama” Pimpinan Gereja Katolik se-Tanah Papua ketika mengakhiri rapat tahunan mereka yang disampaikan pada jumpa pers itu. Intinya: Satu untuk semua dan semua untuk satu!
Upaya Gereja Katolik di Tanah Papua untuk menggapai Papua Tanah Damai bukanlah baru diumumkan untuk dilaksanakan pada akhir dari pertemuan tahunan Pimpinan Gereja Katolik itu, tetapi sejak hadirnya Gereja Katolik di bumi Cenderawasih ini.
Sejarah mencatat, pada 31 Mei 2002, pimpinan Gereja Katolik di Tanah Papua bersama pimpinan Gereja-gereja di Papua membentuk satu Forum Komunikasi dan Kerjasama yang diberi nama Persekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP) dan sejak saat itu (secara organisatoris) dimulailah upaya dan perjuangan untuk mencapai visi dan misi bersama yaitu “Papua Tanah Damai” yang menjadi dambaan hakiki semua manusia yang menghuni Tanah Papua ini.
Gagasan Kardinal Etchegaray
Penulis teringat kembali buah pikiran Kardinal Roger Etchegaray - Pemimpin Komisi Keadilan dan Perdamaian Vatikan (President of the Pontifical Council for Justice and Peace) pada 27 Februari 1996 mengunjungi Dili, ibukota Provinsi Timor Timur (kini Timor Leste).
Di hadapan ribuan umat Katolik dan masyarakat umum yang memadati Katedral Maria Imaculada Conceicao, Kardinal Etchegaray mengatakan, perdamaian di Timor Lorosae dapat terwujud , jika ada Keadilan. Keadilan menjadi syarat lahirnya Perdamaian, sebaliknya Perdamaian adalah buah dari Keadilan. Tidak ada keadilan tanpa perdamaian dan tidak ada perdamaian tanpa keadilan! (“As President of the Pontifical for Justice and Peace, I wish to reaffirm my conviction that there can be no justice without peace and that there can be no peace without justice”).
Pada kesempatan itu juga, Kardinal Etchegaray memuji dan terus mendorong upaya perdamaian dan keadilan yang dilakukan Administrator Apostolik Keuskupan Dili, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB yang tak kenal lelah walau dirundung kritik destruktif yang dialamatkan kepada dirinya, terus menjalin komunikasi kemitraan dengan pemerintah (penguasa politik) dan institusi serta penanggungjawab keamanan untuk tercapainya perdamaian di wilayah yang terus berkonflik itu.
“Pimpinan Gereja Katolik tidak sama dengan pemerintah atau penguasa politik, keduanya berada dalam ‘wilayah’ kepemimpinan yang berbeda namun, keduanya saling berkaitan satu sama lain karena melayani orang atau kelompok orang yang sama ,” kata Uskup Belo setelah pesawat yang menerbangkan Kardinal Etchegaray lepas landas dari Bandara Dili untuk selanjutnya kembali ke Vatikan.
Walaupun berbeda, lanjut Uskup Belo, kami berkewajiban berkomunikasi intens dengan penguasa politik Indonesia karena pekerjaan mencapai keadilan itu adalah tugas utama pemerintah (politik) di dalam tata politik ini. Pimpinan Gereja Katolik memberikan usulan dan saran-saran konkret agar politik menuju keadilan demi perdamaian itu, harus beretika dan bermoral.
Hirarki Gereja Katolik (Uskup dan Pastor, termasuk di dalamnya mereka yang disebut kaum biarawan walaupun tidak menjadi Hirarki Gereja Katolik) bukanlah pemimpin politik yang memiliki tugas utama untuk menciptakan keadilan.
Mereka yang terjun di dalam dunia politik -- termasuk umat Katolik yang bukan hirarki Gereja dan bukan pula biarawan wajib hukumnya untuk menciptakan keadilan karena mereka itu berada dalam tata politik.
Uskup Belo melanjutkan, komunikasi kemitraan yang kami lakukan dengan pemerintah dan aparat keamanan serta lembaga-lembaga politik lainnya, banyak dilakukan dengan cara informal-- komunikasi antarpribadi yang manusiawi dan hal itu tidak perlu dan tidak harus digembar-gemborkan kepada publik . Hal yang terpenting dari komunikasi itu adalah paling kurang, tidak lagi terdapat banyak korban yang berjatuhan dalam konflik bersenjata antara dua kekuatan di Timor Timur.
Gereja Katolik di Timor Timur berada dalam dunia yang nyata, maka Gereja harus dapat berkomunikasi dengan penguasa politik yang punya tugas utama membangun keadilan bagi seluruh rakyat Timor Timur. Jangan sekali-kali mengambil jarak yang jauh dengan penguasa politik dan keamanan dalam mengupayakan keadilan dan perdamaian itu sendiri.
Menjalin komunikasi dengan pemerintah atau lembaga lainnya seperti TNI-Polri, tidak berarti Gereja “menggadaikan” martabat dan misinya. Juga tidak berarti Gereja “berselingkuh” dengan lembaga-lembaga politik dan para politisi untuk melakukan hal-hal atau tindakan yang tidak etis dan tidak bermoral.
Menjalin komunkasi kemitraan dengan pemerintah dan lembaga apapun yang bertanggungjawab atas pelaksanaan keadilan dan kedamaian dalam hidup bersama, bukan berarti Gereja “setuju” dengan tindakan yang tidak baik yang dilakukan orang atau lembaga yang terjalin komunikasi kemitraan itu.
Menjalin komunikasi dengan berbagai lembaga politik dan keamanan bertujuan agar ada tanggungjawab bersama dan ada kerjasama secara bersama-sama untuk menciptakan kehidupan bersama yang adil,damai, bersahabat dan solider dengan semua orang terutama dengan sesama yang menderita akibat konflik itu.
“Menjalin komunikasi dengan berbagai pihak agar Gereja dapat mewartakan keadilan, kedamaian, cintakasih dan pengampunan untuk kemaslahatan bagi semua orang tanpa sedikitpun membedakan suku-asal daerah, warna kulit, agama, ras, golongan dan pilihan politik,” kata Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB.
Bagaimana di Papua?
Pertanyaan cerdas adalah, jika yang terjadi di Timor Timur masa lalu itu adalah seperti yang tergambar di atas, lantas bagaimana Gereja Katolik di Papua mengupayakan tegaknya keadilan dan perdamaian ketika wilayah dan masyarakat di sini masih dirundung konflik politik dan kekerasan bersenjata?
Jawaban adalah : posisi, sikap dan tindakan Gereja Katolik di Papua sangat jelas, tidak jauh berbeda dengan Gereja Katolik di Timor Timur yaitu terus mengulurkan tangan kerjasama, bergandengan tangan dengan semua orang dan semua lembaga/institusi untuk bersama-sama mengupayakan keadilan dan perdamaian. Yang disebut “semua” orang itu, tentu saja termasuk lembaga politik dan keamanan itu sendiri.
Kita tidak boleh mengambil jarak yang jauh dengan lembaga atau institusi atau orang atau kelompok apapun dalam mengupayakan keadilan dan perdamaian, walaupun mungkin kita sendiri tidak menyenanginya dan walaupun orang di dalam institusi itu telah menyakiti hati kita.
Mencermati pernyataan akhir para pemimpin Gereja Katolik di Papua yang disampaikan pada kesempatan jumpa pers itu, kita pun dapat melihat secara sangat jelas bahwa para pemimpin Gereja Katolik di Papua mengarahkan pandangan dan harapannya kepada pemerintah daerah di tingkat kabupaten.
Mengapa? Karena disadari bahwa para bupati bersama semua perangkat politik di bawah dan disampingnya, adalah orang yang paling dekat dengan rakyatnya, yang siang atau malam, panas terik atau hujaun deras, tetap hidup dan berkarya bersama rakyatnya.
Merekalah yang punya rakyat ini. Rentang kendali koordinasi dan konsultasi antara satu sama lainpun sangat dekat (pendek), yang tentu saja berbeda dengan seorang Gubernur atau Presiden yang rentang kendali dengan rakyat di kabupaten dan kampung-kampung sangatlah jauh.
Menyadari akan hal itulah maka pada “Pernyataan Akhir Pertemuan” yang disampaikan melalui jumpa pers (25/2) di Jayapura, para Pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua menyasarkan perhatian dan harapan mereka kepada Bupati. Tanggungjawab Bupati atas rakyat di daerahnya merupakan sebuah taruhan terciptanya keadilan dan perdamaian itu sendiri! Untuk itulah para Pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua mengingatkan semua orang agar benar-benar memahami posisi dan peran Bupati, sekaligus ikut membantu/bekerjasama dengan para Bupati untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di wilayah konflik yang kronis ini.
“Dalam UU Otonomi Khusus, mengenai Gubernur, ada pengaturan mengenai kewenangan dan tanggung jawabnya. Tetapi, mengenai Bupati hanya disebut sepintas dalam bayangan pemerintah provinsi. Padahal menurut UU Otonomi Daerah,kabupaten adalah satu unit daerah otonom.Bupati sebagai kepala daerah berwenang dan bertanggung jawab untuk membangun daerahnya dan kesejahteraan masyarakatnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan keamanan” tulis para Pemimpin Gereja katolik di Papua itu.
Selanjutnya dikatakan bahwa Bupati melaksanakan tugasnya dalam garis komando dan tanggung jawab keatas (pemerintah provinsi dan pemerintah pusat) dalam koordinasi kerja dengan jajaran dibawahnya (distrik dan kampung) dan disampingnya (Forkopimda).
“Wibawa Bupati itu harus ditegakkan. Untuk menunaikan kewajibannya, Bupati perlu dipersiapkan dan dibantu/didampingi dalam hal manajemen pemerintahan serta dalam hal pendekatan dengan lembaga adat dan budaya setempat,” saran para pemimpin Gereja Katolik itu.
Terkait dengan masih ada berbagai tindakan kekerasan di beberapa kabupaten, para pemimpin Gereja Katolik ini mengatakan bahwa Kebenaran dan keadilan boleh diperjuangkan dan harus ditegakkan. Tetapi perjuangan dengan cara kekerasan tidak akan pernah berhasil. Sebab kekerasan akan melahirkan kekerasan lain lagi, dan begitu terus. Kami menyerukan kepada semua pihak agar menghentikan kekerasan.
“Bupati sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab untuk membangun kerukunan warganya hendaknya mempertemukan semua pihak untuk bersama-sama mencari jalan penyelesaian,” kata para Pemimpin Gereja Katolik itu.
Para pemimpin Gereja Katolik di Papua itu mendesak agar penempatan dan fungsi aparat keamanan ditata kembali secara profesional dan proporsional. Polri adalah mitra Bupati dalam pembangunan kesejahteraan, khususnya dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Untuk itu, Polri ditempatkan di markas Polres dan Polsek dan menjalankan tugas teritorial di kampung-kampung (Bhabinkamtimas).
Mereka berintegrasi dengan masyarakat dan bersinergi dalam pelaksanaan tugas-tugas teritorial. Demikian juga dengan TNI.Sebagai mitra Polri, mereka ditempatkan di markas Kodim dan Koramil, juga untuk tugas-tugas teritorial sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa).Satuan-satuan khusus (disebut: Satgas) baik dari POLRI maupun dari TNI atau gabungan antara keduanya, bisa didatangkan hanya dalam keadaan khusus seperti, kalau ada kerusuhan dan gangguan berlebihan dari kelompok KKSB atau apapun juga namanya.
Tugas mereka adalah melindungi Bupati dan masyaratnya agar mereka dapat hidup dan menjalankan tugasnya dengan aman dan damai. Maka kehadiran Satgas atau pasukan khusus di masyarakat pun jangan sampai menimbulkan kepanikan dan kecurigaan dan akhirnya menyebabkan pengungsian.
Ada sejumlah hal yang secara bertahap bisa diatur oleh seorang Bupati dalam wilayah pemerintahannya untuk mengurangi kesenjangan dalam masyarakat. Usaha-usaha seperti transportasi desa, ojek, kios dan usaha kecil lainnya bisa secara bertahap ditentukan sebagai usaha khusus untuk orang asli Papua.
Pemerintah daerah pun diminta untuk bekerja sama dengan sektor-sektor swasta untuk menyelenggarakan berbagai pelatihan ketrampilan bagi kaum muda Papua, seperti otomotif, meubeler, tata boga dan busana dan sebagainya sehingga mereka pun dapat berpartisipasi di dalam sektor-sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
Dalam Pandangan Benedictus XVI
Apabila kita mencermati apa yang sudah dilakukan Pemimpin Gereja Katolik di Timor Timur (tempo doeloe) dengan yang sedang dilakukan Pimpinan Gereja Katolik di Tanah Papua maka, secara kasat mata dapat kita ketahui bahwa posisi, sikap dan tindakan mereka tidak pernah berbeda sartu sama lain hanya disesuaikan dengan konteks setempat.
Dalam cahaya pandangan Paus Benedictus XVI kita dapat menguji keabsahan tindakan para pemimpin Gereja Katolik di dua wilayah yang tersebut di atas (Timor Timur dan Papua)
Dalam Ensiklik (Surat pastoral) Paus Benedictus XVI “Deus Caritas Est” (Allah Adalah Kasih), Pemimpin Gereja Katolik se-Dunia itu mengupas tentang peran semua pihak (termasuk Gereja Katolik) dalam menciptakan keadilan dan perdamaian hidup bersama.
“Tata keadilan dalam masyarakat dan negara merupakan tugas dan tanggungjawab utama politik. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Augustinus, sebuah negara yang tidak dipimpin ssuai keadilan hanya akan menjadi kumpulan para pencuri,” kata Paus Benedictus XVI.
Menurut Paus Benedictus XVI, masyarakat yang adil harus dicapai melalui politik.Menyadari akan hal itulah, maka dalam memperjuangkan tegaknya Keadilan demi Perdamaian, baik Uskup Carlos Filipe Ximnes Belo,SDB di Timor Timur maupun para pemimpin Gereja katolik di Tanah Papua, tetap menjalin komunikasi intensif dengan para penguasa politik, institusi politik dan orang atau kelompok orang yang berkecimpung di arena politik. Mengapa demikian? Jawabannnya adalah:”Keadilan dalam masyarakat dan negara merupakan tugas dan tanggungjawab utama politik!”
Apa yang diinginkan sekelompok orang?
Kembali ke Papua, ternyata, hingga hari ini, sekelompok orang di Papua justru memilki pandangan dan keinginan lain ketika mereka memandang dan menaruh harapan kepada pemimpin Gereja Katolik dalam mengupayakan keadilan dan perdamaian di Tanah Papua.
Mereka menginginkan agar Gereja Katolik harus mengambil jarak yang amat jauh dengan penguasa politik dan keamanan, tidak perlu berkomuniasi dengan oknum dan lembaga politik itu karena oknum atau lembaga politik itu adalah “musuh” rakyat. Mereka harus dijauhi dan bila perlu harus diusir!
Banyak pula orang di Papua yang menginginkan agar para pemimpin Gereja Katolik tidak boleh “diam” saja tetapi harus berteriak sekeras-kerasnya dengan menggunakan alat pengeras suara, turun ke jalan bergabung dengan para pengunjuk rasa untuk mengusir “musuh”. Bekerja “dalam diam yang aktif” itu bukanlah pekerjaan membela rakyat, dan bukan pula perjuangan menegakkan keadilan dan perdamaian itu sendiri dan apabila pemimpin Gereja Katolik itu tidak turun ke jalan raya untuk bersam-sama berorasi maka “kami sajalah yang akan turun dan kamilah yang bersuara!”.
Malahan ada pula sekelompok orang yang berpendapat bahwa mengupayakan keadilan dan perdamaian di Tanah Papua tidak perlu bergandengan tangan dengan institusi politik apapun dan tidak perlu bekerjasama dengan umat dari agama lain, kecuali dari agama atau gereja kami sendiri. Ada pula orang atau kelompok orang yang memaksakan kehendaknya agar pemimpin Gereja Katolik bertindak seperti politisi dan pemimpin politik untuk mengupayakan keadilan.
Begitu pula, ada orang atau kelompok orang yang berupaya menyeret pemimpin Gereja Katolik ke dalam “permainan dan pertarungan politik prakti” sambil berharap pemimpin Gereja ini bertindak dan berperilaku sebagai seorang pemimpin pemerintahan (bupati atau gubernur) dan/atau sebagai anggota badan legislatif.
Ternyata, kelompok kecil orang ini lupa atau pura-pura lupa bahwa: Menciptakan Keadilan itu adalah tugas utama politik, bukan tugas utama pemimpin agama!
*Peter Tukan: Sekretaris Komisi Keadilan & Perdamaian (Iustitia et Pax) Dioses Dili, Timor Timur periode 1994-1998.