Dugaan Rasisme Natalius-Ambrocius, Budaya Papua Dan Politik Identitas 

Peter Tukan/Istimewa

Oleh: Peter Tukan*

DEBAT kusir, polemik  antarwarga,  pernyataan sikap kelompok masyarakat  dan langkah hukum  penegak hukum terkait kasus dugaan rasisme yang menampilkan  dua orang saudara-bersaudara sesama warga Bangsa Indonesia, Natalius Pigai dan Ambrocius Nababan terus merebak di belantera dunia maya  media sosial, media online dan media arus utama yang sepertinya, hampir tidak berkesudahan, bak gayung bersangkut. 

Terlepas dari gonjang-ganjing soal ujaran kebencian atau polemik tentang dugaan rasisme itu sendiri, ternyata ada sisi lain dari kasus ini yang dapat dicermati bersama  untuk diambil hikmah dibalik semuanya . 

Jangan sampai, dengan persoalan  dugaan  rasisme dan ujaran kebencian yang “dilakoni” Natalius dan Ambrocius,   semua warga bangsa ini  dalam hitungan detik saja langsung menghancurkan warisan budaya  leluhur dan mengabaikan pendidikan nilai yang diberikan orangtua di rumah  --  yang pada akhirnya kita semua pun terjungkal  ke dalam jurang politik identitas, dimana yang menang jadi arang   dan yang  kalah jadi abu!

Tentu saja kita tidak ingin melebarkan  dan memperpanjang debat  kusir tentang rasisme karena  seperti dikatakan  pengajar emeritus Filsafat di STFT Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Pastor Prof. Dr. Nico Syukur Dister,OFM : “Perbedaan ras dalam bangsa manusia adalah karya seni maha agung dari Allah Sang Pencipta langit dan bumi yang suka variasi. Tidak ada dua orang yang sama namun, semua sederajat. Begitu pula, tidak ada dua ras yang sama namun, semua ras semartabat. Rasisme menghina Allah Pencipta maupun makhluk manusia ciptaan-Nya”. 

Pengalaman  Gembala dan  Guru Papua

Masih segar dalam ingatan penulis, salah satu hari pada Oktober 2008, saya  berkesempatan berbincang-bincang dengan Pastor Frans Lieshout, OFM yang oleh sebagian besar masyarakat asli Papua di wilayah Pegunungan Tengah Papua mengenalnya sebagai “Gembala dan Guru”  bagi Papua. Pastor Frans selama 56 tahun hidup dan berkarya di Tanah Papua khususnya  wilayah Pegunungan Tengah Papua, lebih khusus lagi di tengah masyarakat Balim dan  Migani. Beliau menghembuskan nafas yang terakhir, kembali ke haribaan Allah Sang  Pencipta, pada 1 Mei 2020 dalam usia 85 tahun.

Perbincangan kami berdua di “Honai”nya di Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya pada  12 tahun silam,  lebih banyak seputar nilai  tradisi dan budaya  - warisan para leluhur masyarakat tradisional Pegunungan Tengah Papua yang diceriterakannya dengan panjang lebar-penuh semangat  dan telah diabadikan dalam sebuah buku berjudul “Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim–Papua” – Penerbit “Tollelegi”.

Menurut Saudara Frans Lieshout, para leluhur masyarakat asli Pegunung Tengah Papua khususnya di lembah Balim telah mewariskan kepada keturunannya nilai-nilai hidup Baik. Apa itu nilai? Nilai adalah  hakikat suatu hal, yang menyebabkan sesuatu pantas “dikejar” agar manusia dapat berkembang.  Ada hubungan antara “yang bernilai” dengan “yang Baik”. “Baik” adalah sesuatu sifat yang melekat pada halnya. “Bernilai” adalah sifat yang menghubungkan suatu hal yang baik dengan seseorang konkret (Dr.BS Mardiatmadja,SJ).

Beberapa nilai hidup yang diturun-temurunkan itu , menurut Frans Lieshout antara lain nilai kebersamaan, nilai relasi, nilai membagi, nilai kerja dan nilai damai/rekonsiliasi. Semua ini tidak dipisahkan satu dengan yang lain. Tentu saja suku-suku lain di Papua memiliki nilai-nilai yang kurang lebih sama, namun caranya orang Hubula menghayati dan mewujudkannya adalah unik atau khas Balim. Nilai yang paling menonjol  yang tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah nilai “Kebersamaan”.

“Sejak lahir hingga mati tampak kebersamaan itu. Orang Hubula menghayati kebersamaan dan persatuannya dengan sesama suku dan honai. Seluruh hidup dan bagian-bagiannya dilihat oleh mereka sebagai sesuatu yang sakral. Orang Balim punya cara tersendiri dalam tatakrama atau sopan santun hidup setiap hari. Nilai kebersamaan dan solidaritas  dihayati dan diungkapkan secara khas Balim dalam berbagai cara, upacara dan kegiatan lainnya,” kata Frans Lieshout.

Masyarakat Balim khususnya dan Papua pada umumnya memiliki kasadaran untuk taat kepada norma yang dianut. Ada norma santun-umum yang berlaku di dalam pergaulan sehari-hari seperti cara memberi hormat, cara menyapa orang sesuai dengan “status sosialnya”. Inilah yang disebut moralitas itu!

Menurut  Pastor Frans, norma-normal hidup bersama ini dialami setiap anggota suku sejak di dalam keluarga, di dalam “honai”nya masing-masing dan diharapkan agar apa yang dialami itu diamalkan dalam kehidupan setiap anggota suku, kapan dan dimanapun mereka berada dan berkarya. Ada pengalaman hidup dan ada pula pengamalan dalam hidup.

Kembali kepada “perseteruan” antara Natalius dan Ambrocius di media sosial. Tentu saja, Natalius  sebagai anak asli Papua yang sudah cukup lama  bermukim di Jakarta pasti  memiliki nilai-nilai hidup yang dibawanya dari rumahnya sendiri di Tanah Papua. Hal yang sama juga dimiliki  Ambrocius dari wilayah Barat Indonesia yakni  Sumatera. Nilai-nilai hidup yang baik yang ada dan dipraktekkan oleh masyarakat di Papua pasti ada dan dipraktekkan juga  oleh masyarakat  di Sumatera, apalagi Ambrocius pun sudah lama bermukim di Papua.

Namun, hal yang sangat mengherankan itu adalah, ternyata, baik Natalius maupun Ambrocius lupa atau sengaja melupakan nilai-nilai baik yang sudah tertanam di dalam diri mereka sejak masih berada bersama keluarga di kampung halaman masing-masing. Mereka dua lupa bahwa di atas semuanya itu, ada nilai kebersamaan sebagai sesama saudara sebangsa dan setanah air Indonesia. Mereka ternyata “Lupa Diri!”.   Baik Natalius maupun Ambrocius dikenal sebagai “pelaku politik” di Tanah Air Indonesia. Kelihatannya, keduanya berpolitik sebagai homo politicus, yang berorientasi  kepada kekuasaan, tetapi  bukan sebagai homo ethicus, manusia etis, yang selalu mempertanyakan diri, apakah hal ini sesuai dengan pedoman etis atau tidak. Apakah etis, ketika mereka saling memberikan kritik yang destruktif dan saling mencaci maki di “lahan terbuka” dunia maya?

Dari paparan di atas,  kita sependapat bahwa Natalius dan Ambrocius  telah gagal mengamalkan nilai-nilai Baik yang telah diwariskan leluhurnya dan yang telah dihidupi di dalam keluarga masing-masing ketika mereka  masih dalam kandungan ibu. Apakah benar, bahwa keluarga Natalius dan Ambrocius telah gagal melakukan pendidikan nilai bagi mereka berdua? Atau keduanya dengan tahu dan mau melupakan atau mengabaikan  hasil pendidikan nilai yang adalah  warisan leluhurnya?

Dr. Jan Riberu seorang  ahli pendidikan kenamaan asal Flores, NTT   mengatakan bahwa pendidikan nilai berawal dari pengalaman nilai (Werterlebnis) dan berakhir dengan pengamalan nilai (Wertbetӓtigung).  

“Pelaksanaan nilai secara konsekuen dan terus  menerus akan menimbulkan kebiasaan. Kebiasaan menyebabkan bahwa nilai tertentu seperti kebersamaan, saling menghargai, sopan-santun bertutur kata, menjaga perasaan orang lain, mendarah daging di dalam diri seseorang. Nilai sopan santun dalam bertutur kata, misalnya, akhirnya dihargai dan disadari sebagai hal yang indah, yang memperkaya harkat dan martabat manusia dan karenanya layak menjadi pegangan di dalam kehidupan setiap hari ,” kata Riberu.

Ternyata, “perseteruan” Natalius dan Ambrocius  yang merebak ke publik, telah memberi pelajaran sangat berharga, paling pertama  bagi  Ambrocius agar benar-benar  menghayati dan melaksanakan etika dalam hidup bersama, menghormati dan menghargai  martabat luhur sesama  manusia, dan tidak menyandingkan wajah sesamamu  dengan Gorila. Perbuatan Amrocius di media sosial yang diduga rasis itu,  patut dikecam!

Sebaliknya, Natalius sendiri pun diajari agar mampu berbicara, bersikap dan bertindak sopan-santun, “jaga mulut” karena kata orang,”mulutmu – Harimaumu”. Natalius harus  mampu memilih dan memilah kata dan ungkapan yang tidak menyakiti hati orang lain, dan tidak membuat orang tersinggung ketika berbicara atau menulis; memberikan kritik konstruktif  dengan bahasa yang santun,  bukan atas dasar kebencian, dendam, dan kecewa atau bukan pula melakukan kritik destruktif  untuk tujuan politik tertentu yang instant dan murahan.

Politik identitas yang berbahaya

Jika dicermati peristiwa saling bersahutan  antara Natalius dan Ambrocius maka kita patut menduga bahwa keduanya sedang dalam permainan politik identitas dengan mengusung isu primordialisme etnis,  padahal kita semua melalui berbagai media sering  diingatkan bahwa orientasi politik ke arah identitas dan representasi politik yang melibatkan ras dan agama merupakan hal yang membahayakan perjalanan kehidupan kita sendiri sekaligus  menghempaskan bahtera Negara Kesatuan Republik Indonesia. Politik identitas merupakan rumusan lain daripada politik perbedaan.

Apabila Ambrocius memasangkan gambar Gorila berdampingan dengan orang lain yang bukan berasal dari etnis Papua, tentu “hingar-bingar” debat kusir, pernyataan sikap, komentar publik  dan sejenisnya itu, mungkin  saja tidak terlalu mengundang perhatian khalayak ramai dan mungkin pula, publik memandang peristiwa itu sebagai “urusan mereka berdua saja”. 

Namun  karena  Ambrocius  secara sengaja, dengan sadar- tahu dan mau memasang gambar Gorila berdampingan dengan seorang Natalius Pigai yang kebetulan lahir dari etnis Papua maka gojang-ganjing peristiwa itu menjadi sangat meluas, sangat serius dan mendebarkan hati serta mengundang perhatian publik yang majemuk ini.

Tidak dipungkiri bahwa hingga hari ini, wilayah yang masih bergolak  dan bergejolak politik dan senjata  terkait integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Papua. Hal ini tidak boleh kita pungkiri. 

Oleh karena itu, ketika politik identitas etnis ini “dimainkan” antara lain melalui pemasangan gambar diri seorang anak asli Papua berdampingan dengan Gorila maka dalam hitungan detik saja, peristiwa ini  menjadi isu politik yang mendunia dengan segala tanggapan dan  reaksi sesuai kepentingan politik disintegrasi bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.

Agnes Heller berpendapat, politik identitas itu sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan (difference).  Politik identitas jika dicermati sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikkan oleh karakteristik biologisnya dari suatu titik pandang.

“Politik identitas merupakan tindakan politis dengan upaya penyaluran aspirasi untuk memengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan,” tulis Juana Nasrudin dalam “Politik Identitas dan Representasi Politik”.

Di dalam situasi hari ini di Papua, kita semua sangat menyadari bahwa mayoritas masyarakat asli Papua sedang berada dalam transisi dari masyarakat agraris dan meramu-berburu ke kehidupan perkotaan modern sebagai konsekuensi dari  lahirnya daerah kabupaten  baru dan provinsi baru pada sekitar lebih dari sepuluh tahun terakhir ini. Transisi ini bagi mayoritas masyarakat asli Papua yang mengalaminya, memunculkan pertanyaan tentang identitas. Pertanyaan ini menjadi hal yang sangat penting.  Ketika  “perseteruan” Natalius dan Ambrocius ini mencuat ke  balantra media sosial, media online dan media arus utama maka inilah momentum yang tepat ketika yang personal ( yang tadinya hanya antara Natalius dan Ambrocius) menjadi  momentum politis yang sangat membahayakan keutuhan Papua dalam NKRI (Bdk. Francis Fukuyama dalam “Identitas” – Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, 2018).

Belajar dari Habel Melkias Suwae

Berhadapan dengan situasi yang krusial antara Natalius dan Ambrocius yang menyeret politik identitas yang dapat menggoyahkan pilar-pilar persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sepertinya  kita perlu belajar dari Habel Melkias Suwae (alm.) – salah seorang putra terbaik Tanah Papua yang dikenal sebagai tokoh pluralisme Tanah Papua. Habel yang lahir pada 28 Mei 1952,  meninggal dunia 3 September 2020.

Ketika Habel masih menjabat sebagai Bupati Kabupaten Jayapura dua periode 2001 – 2011, dia  bergandengan tangan dengan semua warganya yang majemuk itu untuk menyukseskan program pembangunan  di wilayah itu. Dia tidak henti-hentinya turun ke tengah masyarakat, berbaur dengan warganya yang tidak hanya  orang seasalnya  dari Tanah Papua,  tetapi juga orang-orang  yang datang dari wilayah-wilayah lain di seluruh kepulauan Nusantara ini. Keberhasilan pembangunan Kabupaten Jayapura khususnya “Pemberdayaan Kampung” pada masa kepemimpinannya, justru berkat kegigihannya merangkul semua etnis yang hidup dan berkarya di Kabupaten Jayapura.

Pengalaman kemajemukan ini dituangkan dalam disertasinya ketika akan memeroleh gelar Doktor dari Program Studi Kajian Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Hasil risetnya yang dibukukan dengan judul “Identitas Cair Papua”  mengedepankan pikiran utamanya tentang  identitas ke-Papua-an yang diletakkan dalam konteks ke-Indonesia-an.

Ketika kami berdua  berdiskusi di sebuah rumah makan di Kota Sentani sekitar tahun 2006, Habel mengatakan bahwa kondisi masyarakat Papua sendiri cukup heterogen, ada masyarakat pantai (darat), ada pula masyarakat pegunungan.  Kondisi heterogen ini semakin fenomenal ketika Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia sejak tahun 1963. Mulai saat itu banyak berdatangan orang-orang dari luar Papua yang itu pun juga bersifat multikultur, terdiri dari orang Makasar, Bugis, Buton, Manado, Batak, Jawa, Maluku dan Flobamora (NTT) dan sebagainya.

“Dengan demikian, dilihat dari latarbelakang etnis, Papua yang sudah memiliki banyak varian etnis, setelah bergabung dengan  Republik Indonesia, mempunyai kandungan heterogenitasnya yang semakin banyak. Kondisi sosio-kultural seperti ini memiliki dua sisi. Dari satu sisi, merupakan kekayaan, tetapi jika dilihat dari perspektif multikulturalisme menjadi sangat problematik,” kata Habel.

Multikulturalisme itu, lanjut Habel  tidak hanya mengakui keberagaman  etnis, agama, atau ras, tetapi menekankan aspek perlindungan. Multikulturalisme senantiasa menekankan kesamaan derajat dalam keberagaman, dalam kepelbagaian. Jadi, dalam relasinya, mereka sama derajat, sekalipun mereka memang  berbeda. Perbedaan itu kita terima sebagai satu kekayaan dan perbedaan itu tidak boleh menentukan siapa di bawah siapa, atau di atas siapa, tetapi semuanya dalam satu derajat yang sama dan setara.

Pemerintah, lanjut Habel telah memahami kondisi kemajemukan di Papua ini sehingga dengan cepat dan tepat  melahirkan “Otonomi Khusus” bagi Provinsi Papua. Otonomi Khusus (Otsus) itu bermakna kultural tidak hanya bermakna politik. Kekhususan Papua itu adalah kekhususan kultural, yaitu kultur Papua yang menjadi ukuran. Jika kultur Papua menjadi ukuran, orang asli Papua itulah  yang menjadi ukuran dalam Undang-Undang Otsus itu sendiri. 

Habel berpendapat bahwa, terdapat tiga unsur utama yang terkandung dalam UU Otsus, yaitu segalanya harus ada keberpihakan terhadap orang Papua, perlindungan terhadap orang asli Papua, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua.  Konkretnya, setiap keberhasilan pembangunan Papua harus diukur dari ketiga unsur tersebut.

Pelajaran berharga dari “perseteruan” Natalius dan Ambrocius adalah, baik Natalius maupun  Ambrocius tidak boleh meninggalkan nilai-nilai budaya asli dari leluhurnya masing-masing, kapan dan dimanapun keduanya berada dan Pemerintah harus konsisten membangun Papua dalam semangat Otonomi Khusus  untuk  memperkuat identitas ke-Papua-an sekaligus memperkokoh   pilar-pilar keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Bagaimanapun juga,  manusia timur itu sangat menghargai hidup yang penuh dengan kesederhanaan, kebijaksanaan, hidup praktis dan sosial, mengutamakan hidup selaras dan rukun dengan alam dan masyarakat di sekitarnya, hidup dalam damai, ketenangan, kebersamaan dan kerukunan!

*Peter Tukan: Jurnalis