Oleh: Marianus Gaharpung,S.H.M.S*
PESTA Demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2020 di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua telah berlangsung pada Senin, 28 Desember 2020 dan pada Minggu, 3 Januari 2021, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua, Theo Kossay mengumumkan hasil perolehan suara Pilkada itu, dimana pasangan Yusak Yaluwo – Yakob Waremba meraih suara terbanyak mengungguli pasangan calon bupati dan wakil bupati lainnya yang ikut bertarung dalam perhelatan demokrasi tersebut.
Pasangan nomor urut empat Yusak Yaluwo-Yakob Waremba meraih 16.319 suara atau 52,87 persen dari 31.520 suara sah pada Pilkada Kabupaten Boven Digoel.
Sementara tiga pasangan calon lainnya, masing-masing nomor urut satu Hengky Yaluwo-Lexi Romel Wagiu memperoleh 2.164 suara atau 7,01 persen, kemudian nomor urut dua Chaerul Anwar-Nathalis B Kaket memperoleh 3.226 suara atau 10,45 persen dan nomor urut tiga Marthinus Wagi-Isak Bangri memperoleh 9.156 suara atau 29,66 persen.
Usai pesta demokrasi itu, pada Rabu (6/1) pasangan calon nomor urut 3 atas nama Martinus Wagi dan Isak Bangri mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil Pilkada Boven Digoel ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan seperti diberitakan media, pasangan ini dalam permohonannya, mempersoalkan proses pencalonan pasangan Yusak-Yacob yang menjalani pembebasan bersyarat.
Status Yusak Yaluwo sebagai mantan narapidana baru menjalani bebas bersyarat semestinya baru dapat mendaftar sebagai peserta Pilkada tahun 2022.
Sebagai praktisi hukum dan pengajar ilmu hukum, penulis ingin melakukan kajian hukum sangat sederhana terkait hal ini.
Pertama, Fundamentum petendi atau posita ( dasar/alasan gugatan). Bahwa dalam proses beracara di pengadilan, ketika seseorang atau sekelompok orang yang mengajukan gugatan, maka yang paling penting adalah apa dasar gugatannya itu.
Kita melihat bahwa` dalam perkara pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, yang menjadi posita adalah hasil pemungutan suara - yang oleh pasangan tertentu, ada aspek pidana atau kecurangan yang masif, sistematis dan terstruktur. Inilah yang oleh kuasa hukum penggugat, dalam hal ini Martinus- Isak harus bisa membuktikan, sehingga jika yang digugat berada di luar daripada itu, dalam hal ini mempersoalkan pembebasan bersyarat Yusak, maka jelas-jelas langkah yang ditempuh ini sangat keliru lantaran alasan menggugatnya tidak tepat sasarannya.
Apalagi , Yusak sendiri sudah "diadili" oleh Bawaslu Bovendigoel dengan Pemohon adalah Yusak dan Termohon adalah KPU RI dan sudah diputus dimana isi vonisnya mengatakan bahwa`Yusak diperbolehkan mengikuti Pilkada Boven Digoel. Apa lagi ada asas Ne Bis In Idem yakni bahwa`seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sudah diputus oleh peradilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena Bawaslu adalah "peradilan" dalam sengketa Pilkada, sehingga apabila penggugat mengajukan gugatan ke MK dengan alasan yang bukan menjadi obyek gugatan MK dalam sengketa Pilkada, maka diduga kuat, Majelis MK akan memutuskan gugatan tersebut “tidak dapat diterima” atau Niet Ontvankelijke verklaard “ (NO).
Kedua, Petitum, adalah sesuatu yang diminta dalam gugatan. Jujur saja, saya tidak paham dalam hal gugatan yang diajukan oleh Martinus-Isak atau kuasa hukumnya, apa yang diminta dalam petitum? Artinya, jika posita gugatan sudah tidak jelas, maka petitumnya pun pasti tidak jelas. Karena, bagaimanapun juga posita dan petitum harus "senafas" jika tidak, maka percuma saja mereka buang-buang duit, dan tenaga serta waktu pun terkuras secara sia-sia, apalagi jarak tempuh perjalanan Boven Digoel - Jakarta (PP) sangatlah jauh dan cukup melelahkan.
Tetapi, ini semua adalah hak konstitusional warga negara yang harus diakomodir oleh negara yang dalam hal ini MK. Oleh karena itu sah- sah saja mereka mengajukan gugatan apalagi, ada asas bahwa hakim tidak boleh menolak gugatan yang diajukan kepadanya sehingga MK tetap menerima meregistrasi dan memanggil penggugat, tergugat dan pihak terkait untuk mengikuti persidangan, dan perlu diingat bahwa sesuai jadual , putusan atau vonis majelis hakim MK akan jatuh pada 19 sampai dengan 24 Maret 2021.
Tindakan lumrah
Pekan lalu, penulis juga sudah utarakan hal ini di beberapa media bahwa, gugatan hukum itu merupakan tindakan yang sangat lumrah sekaligus bagian dari dinamika kehidupan berdemokrasi Indonesia asalkan, gugatan itu tidak sia-sia bagaikan “menggarami laut Arafuru”.
Kita sama-sama mengetahui bahwa, banyak pasangan calon kepala daerah yang ikut “bertarung” pada perhelatan demokrasi Pilkada mengalami kekalahan telak, tetapi mereka sendiri samasekali tidak siap batin untuk berlapang dada menerima kekalahan, sehingga secara emosional, tanpa banyak berpikir dan tidak berpikir panjang, mereka langsung berkoordinasi dengan Tim hukumnya untuk melakukan gugatan ke MK.
Padahal, mereka lupa atau belum tahu bahwa di dalam melakukan gugatan hukum, terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan yaitu aspek legal reasoning dan legal argumentation.
Aspek legal reasoning sangatlah penting dengan memunculkan pertanyaan cerdas yaitu, apa obyek gugatan ke MK terkait Pilkada itu?
Hal ini haruslah benar-benar dikaji, dengan menggunakan reasoning hukum yakni bahwa obyek gugatannya adalah hasil pemunggutan suara termasuk di dalamnya apakah terjadi penggelembungan suara secara sistematis, masif dan terstruktur. Jika hal ini yang dipersoalkan, maka dari aspek legal argumentation, MK pasti mengabulkan gugatan Martinus dan Isak.
Namun, faktanya adalah, hal yang dipersoalkan atau digugat oleh pasangan nomor urut 3 Martinus dan Isak adalah persoalan pidana bersyarat Yusak Yaluwo. Jika itu yang digugat maka gugatan itu bukanlah obyek gugatan ke MK karena bukan hasil pemungutan suara Pilkada digugat tetapi proses administrasi pencalonan Yusak Yaluwo sehinga gugatan yang diajukan oleh kuasa hukum Paslon nomor 3 itu jelas-jelas adalah salah alamat atau salah kamar.
Pada hari ini, realitas demokrasi di Boven Digoel menyataan secara terang-benderang bahwa pasangan Yusak – Yakob keluar sebagai pemenang Pilkada dengan meraih suara mayoritas mengungguli pasangan lainnya termasuk pasangan nomor urut 3 itu Martnus – Isak.
Perlu juga diingat bahwa putusan MK adalah final dan mengikat, artinya ketika putusan diduga tidak dapat diterima, maka tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi.
Catatan tambahan
Sehubungan dengan gugatan ke MK terkait hasil perolehan suara Pilkada, penulis memberikan beberapa catatan tambahan. Lampiran V Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 Tentang “Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota” memberikan syarat gugatan yaitu, Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu jiwa, bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar dua persen dari total suara sah; Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa-500 ribu jiwa, bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk 500 ribu jiwa- 1 juta jiwa, bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1 persen dari total suara sah.
Selain itu, Kabupaten/Kota dengan jumlah lebih dari 1 juta jiwa, bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 0,5 persen dari total suara
Jadi, dari peraturan MK sudah jelas bahwa disamping obyek gugatan adalah menyangkut sengketa hasil pemungutan suara maka, di luar daripada itu, bukanlah obyek sengketa di MK.
Disamping itu, yang perlu diketahui pula bahwa bagi pasangan calon yang menggugat ke MK adalah standar selisi suara sebagaimana ketentuan di atas.
Seandainya pasangan Martinus – Isak mengajukan gugatan terkait perolehan suara Pilkada Boven Digoel maka sekarang kita lihat standar selisih suara yang menjadi perselisihan di Pilkada itu antara pasangan Yusak - Yakob dengan pasangan Martinus - Isak, selisih berapa persen dihitung berdasarkan jumlah penduduk Boven Digoel.
Jika jumlah prosentase kemenangan Yusak - Yakob melebihi dari ketentuan yang diatur sebagai prasyarat mengajukan gugatan di MK, maka upaya pasangan Martinus dan Isak untuk menggugart di MK, dari sisi perolehan suara Pilkada adalah sia-sia belaka. Yusak dan Yakob akan tetap sebagai pemenang dan tetap pula dilantik sebagai bupati dan wakil bupati Boven Digoel yang terpilih secara demokratis.*
*Marianus Gaharpung,S.H. M.S : Praktisi Hukum (lawyer) dan Pengajar Hukum Universitas Surabaya (Ubaya).