Oleh: Peter Tukan*
PADA Kamis, 10 Desember, masyarakat dunia merayakan hari Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) setelah pada 10 Desember 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melahirkan “Universal Declaration of Human Rights” . Bersamaan dengan hari HAM itu, di dalam suasana menyongsong Natal - perayaan iman umat Kristiani akan kelahiran Yesus Kristus, ratusan Pastor (gembala) Gereja Katolik di Tanah Papua menggelar jumpa pers menyampaikan “Seruan moral” demi Papua yang adil dan benar.
Sebelum 147 pastor ini menyampaikan seruan moral itu, pada Senin, 8 Juni 2020 lalu, sebanyak 57 pastor yang menyebut sebagai Pastor Katolik Pribumi menggelar jumpa pers mengutuk rasisme, menolak ketidakadilan dan segala bentu kekerasan kepada di Tanah Papua.
Sehari setelah 10 Desember itu, tepatnya Jumat, 11 Desember 2020, muncul beberapa pertanyaan kritis ini: Setelah mereka berseru-seru, lantas apa yang mau dilakukan para pastor ini usai berseru itu , apakah hanya sampai pada menyampaikan “seruan” saja karena 10 Desember adalah hari HAM sedunia, ataukah ada tindak lanjut untuk menjadikan seruan itu (yang dibicarakan atau disuarakan) sebagai kenyataan hidup (yang dikerjakan) di tengah dan bersama masyarakat Papua, sehingga pada akhirnya Papua mengalami “Damai Sejahtera” ?
Pertanyaan susulan lagi adalah: Apa akibat lanjutan dari seruan moral itu, terutama dan pertama-tama bagi orang atau lembaga yang menjadi “sasaran tembak” 10 butir Seruan Moral tersebut?
“Kekerasan melahirkan masalah baru - dialog dan rekonsiliasi adalah cara bermartabat menyelesaikan konflik di Tanah Papua,” demikian kalimat awal pembuka Seruan Moral dari 147 pastor Katolik di Tanah Papua .
Seruan moral yang berisi 10 point usulan itu, dialamatkan atau disasarkan kepada pihak-pihak tertentu, baik intern maupun ekstern Gereja Katolik.
Seruan moral ratusan pastor itu, dialamatkan antara lain kepada kedua kubu yang bertikai, yaitu TNI/Polri dan TPN/OPM yang sama-sama menggunakan senjata.
Para pastor memohon agar kedua belah pihak ini, segera hentikan kekerasan bersenjata dan membuka ruang hati untuk berunding dalam dialog bermartabat, sebab kekerasan tidak pernah akan menyelesaikan permasalahan di Tanah Papua.
Selain itu, para pastor meminta Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) agar segera menetapkan regulasi-regulasi yang lebih memihak kepada Orang Asli Papua(OAP).
Begitu pula, kepada kelompok-kelompok yang rawan memicu konflik horisontal, para pastor mengajak mereka untuk menyelesaikan semua masalah di Tanah Papua dengan cara-cara yang bermartabat.
“Camkanlah bahwa ada perbedaan ideologi dan pendapat, tetapi baiklah kita duduk bersama dalam suasana saling menghargai dan menghormati untuk mencari solusi yang tepat demi ketenteraman dan kedamaian di Tanah Papua,” seru para Pastor.
Kepada pemerintah daerah, gubernur dan para bupati/wali kota, mereka meminta agar memimpin warga masyarakat sehingga dapat hidup berdampingan secara damai, adil, dan sejahtera.
Pada akhir dari seruan moral ini, para Pastor secara tegas menawarkan Dialog menyeluruh untuk menyelesiakan permasalahan Papua yang kronis ini, sekaligus menyatakan menolak dan mengutuk tindakan kekerasan di Tanah Papua.
Pesan utama dari seruan moral ini adalah, para pastor menginginkan agar Papua menjadi Tanah yang adil, benar dan damai. Bagi para pastor, Damai yang sejati hanya bisa didasarkan atas keadilan. Adil berarti memberi kepada tiap orang apa yang menjadi haknya. Sehubungan dengan masalah HAM di Tanah Papua, adil berarti menghormati semua hak asasi manusia rakyat di Bumi Cenderawasih ini. Selama hak itu belum diakui dan dihormati, maka selama itu pula tidak akan ada Damai yang sejati yang menyelimuti Tanah Papua- “sorga kecil jatuh ke bumi”.
Berjalan bersama dan Bekerjasama
Tidak menutup kemungkinan bahwa suara seruan moral 147 pastor ini dapat segera hilang lenyap seiring perjalanan waktu, apabila, suara moral yang didengungkan itu tidak ditindaklanjuti dalam karya hidup selanjutnya, baik oleh para pastor itu secara sendiri-sendiri, oleh mereka secara bersama-sama dalam satu kolegialitas (kerekanan), maupun bersama umat Katolik lainnya, serta bersama saudara-saudara dari suku, agama, daerah dan golongan lainnya.
Apabila kita jeli mencermati isi Seruan Moral ini,maka terlihat cukup banyak dari sepuluh butir seruan itu, bukanlah hal yang baru samasekali, dan tidak mengejutkan apa-apa. Mengapa? Karena permasalahan Papua dan permasalahan di Papua yang kronis yang termaktub dalam Seruan Moral itu, dapat diibaratkan “pita rekaman yang selalu diputar berulang-ulang kali” – dan yang itu-itu saja, dengan hanya ditambah atau dikurangi serta diformulasikan secara baru sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan hari itu untuk “dijumpa-perskan”.
Banyak usul-saran yang tertera dalam seruan itu, sebenarnya sudah berulangkali bergema dan digemakan dimana-mana dan pada berbagai kesempatan; seperti pada kesempatan jumpa pers, seminar, rapat kerja, diskusi kelompok yng terfokus (FGD) yang menampilkan tema-tema seputar kekerasan, pelanggaran HAM, kemiskinan, ketidakadilan, dan sebagainya.
Karena permasalahan yang dipaparkan dalam Seruan Moral ini sudah pernah dan selalu berulang-ulang dibahas pada berbagai kesempatan dan tempat, maka usai jumpa pers para pastor tersebut, banyak orang langsung menginginkan adanya tindakan nyata atau langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan atau menuntaskan permasalahan yang disampaikan di dalam naskah Seruan Moral tersebut, tanpa lagi banyak berdiskusi dan berdebat serta berseminar..
Kenyataan hari ini di Papua adalah cukup banyak orang sudah tidak peduli lagi dengan penyampaian berbagai permasalahan Papua yang terus berulang itu.
Mengapa? Mungkin saja karena orang tidak mau atau tidak memiliki kesediaan hati untuk berjalan bersama dan bekerjasama menuntaskan masalah Papua yang pelik itu; atau mungkin setiap orang sibuk dengan masalahnya sendiri, sehingga lupa atau tidak punya waktu lagi untuk memperhatikan masalah bersama ini; atau juga mungkin ada perbedaan dalam cara kita memandang dan cara kita menyelesaikan permasalahan Papua itu. Dan lebih dari itu, mungkin orang sudah bosan dengan masalah Papua dan masalah di Papua yang terus berulang, tanpa menemukan titik akhir yang membahagiakan.
Satu hal yang patut dicamkan adalah, apakah kita tahu bahwa 147 pastor yang “bertemu” pada Kamis (10/12) kemarin saat jumpa pers itu, pada hari berikutnya yaitu Jumat (11/12), kembali bertemu lagi dalam jumlah yang tetap sama seperti kemarin untuk memperbincangkan tindak lanjut dari seruan moral tersebut dengan merancang bersama program kerja harian, program kerja bulanan dan program kerja tahunan bagi diri mereka sendiri, bagi umat yang dipimpinnya serta bersama semua orang lainnya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan sehingga pada akhirnya apa yang diserukan (dibicarakan) itu benar-benar “membumi” di Tanah Papua dan dengan demikian semua orang mengalami damai sejahtera.
Apakah usai melakukan jumpa pers Seruan Moral itu, para pastor pun mulai bergegas berbagi tugas kerja di antara mereka sendiri: Siapa mengerjakan apa, bagaimana mengerjakannya, kapan dikerjakan, dimana dikerjakan, dengan siapa mereka bekerja dan kapan dievaluasi hasil kerja mereka? Begitu pula, kapan para pastor ini secara bersama-sama dalam semangat persaudaraan sejati dapat menentukan: butir seruan moral yang ke berapa yang menjadi prioritas untuk dikerjakan hari ini, sedangkan butir seruan moral lainnya akan segera menyusul untuk dikerjakan.
Jangan sampai, para pastor yang mengeluarkan seruan moral itu hanya berada pada posisi: “Berseru-seru” saja, dan selanjutnya, terserah kepada orang atau lembaga yang kepadanya Seruan Moral itu ditujukan; apakah nanti mereka yang seruan itu disasarkan, mau mendengar atau tidak mendengar, mau menerima atau tidak menerima, mau setuju atau tidak setuju dengan Seruan Moral itu, terserah saja kepada yang bersangkutan, yang terpenting, tugas “kenabian” para pastor ini, dianggap tuntas seiring dengan berakhirnya acara Jumpa Pers itu! Begitu kah?
“Pelayanan yang dapat dilakukan Gereja bagi perwujudan hak asasi manusia, tidak hanya berupa ajakan verbal, betapapun pentingnya hal itu, melainkan dengan menampilkan teladan dalam dirinya sediri dengan berbuat yang benar. Komitmen Gereja terhadap pembelaan martabat dan hak-hak manusia tidak diukur hanya dengan ucapan-uacapannya, tetapi lebih dengan tindakan dan kehidupannya” ( Hak Asasi manusia dan Gereja: Komisi Kepausan Keadilan dan Perdamaian; Penerbit Obor, 1994).
Sebagai contoh yang sangat sederhana adalah: Butir pertama Seruan Moral yang meminta kepada dua kubu yang bertikai yaitu TNI/Polri dan TPN/OPM agar mereka berhenti menggunakan senjata dan duduk berdialog.
Setelah seruan moral itu disampaikan, maka tindak lanjutnya (tidak ditunda-tunda lagi) adalah para pastor mulai bekerja (apakah sendiri-sendiri atau bersama umat Katolik yang lain atau umat agama lain) untuk menjawab pertanyaan ini : Siapa di antara mereka bertugas mendekati pihak TNI/Polri dan siapa pula yang mendatangi pihak TPN/OPM? Walaupun mungkin mereka tidak dapat bertemu langsung dengan petinggi masing-masing kubu yang betikai itu, tetapi paling tidak, para pastor tahu bahwa, di dalam kubu yang bertikai itu, pasti terdapat juga anggota umat dari Gereja Katolik. Mulai dulu bertemu sesama yang Katolik itu sebelum bertemu dengan yang lain. Jadi, mulai dari hal yang kecil, sederhana dan mudah ditemui.
Ada anggota tentara dan polisi yang Katolik, sebaliknya, ada pula anggota TPN/OPM yang Katolik. Kapan pastor bertemu dari Hati ke Hati dengan mereka ini untuk mulai mengajak berhenti bertikai dan duduk berdialog seperti yang tertulis dalam naskah seruan yang dibacakan saat jumpa pers itu? Untuk langkah awal, pastor tidak perlu bersusah payah mencari anggota polisi dan tentara atau anggota TPN/OPM dari agama atau Gereja lain, mulailah dahulu dengan menemui cukup satu anggota umatmu sendiri yang adalah anggota TNI/Polri atau TPN/OPM untuk dari hati ke Hati ajak dia datang berdialog demi keadilan dan kebenaran sesuai tema Jumpa Pers itu.
Pengalaman di Papua selama ini membuktikan bahwa, sangat mudah bagi kita membicarakan hal-hal yang besar, populer dan menarik perhatian mata jutaan orang di seluruh dunia; tetapi betapa sulitnya kita, ketika yang besar dan menakajubkan itu, mulai dikonkritkan, mulai disederhanakan, mulai dilaksanakan atau ditindaklanjuti di tengah masyarakat/umat yang majemuk ini (majemuk dalam suku, agama, golongan, pandangan politik, tardisi-budaya dan sebagainya).
Nah, justru pada saat kita mulai bekerja yang nyata inilah, di situ kita “menemukan batunya” dan pada saat itu juga dua bola mata kita terbuka lebar - menyadari bahwa, oh..... ternyata, sebuah gagasan besar atau seruan yang bernada mantap- gagah perkasa itu, yang sudah tertulis indah di atas kertas berhalaman-halaman itu, ketika mulai dilaksanakan di tempat kita berada dan dikerjakan pada hari ini juga, maka – semua itu terasa “tidak semudah membalikkan telapak tangan” dan “tidak seindah mimpi di pagi subuh seiring kokokan ayam pejantan menjemput terbitnya sinar sang surya dari ufuk timur”.
Hari HAM : Momentum Pendidikan Keadilan dan Perdamaian
Pengalaman di Papua selama ini, setiap tanggal 10 Desember, banyak orang atau kelompok orang “merayakan” Hari HAM itu. Ini merupakan bukti perhatian masyarakat yang sangat besar bagi tegaknya penghormatan atas hak-hak asasi manusia.
Dalam menegakkan HAM, orang tidak hanya berjuang untuk menghentikan kekerasan terkait perilaku dan tindakan fisikal (kekerasan itu tidak semata-mata berhubungan dengan kerusakan fisikal) tetapi juga orang berjuang untuk menghentikan kekerasan terkait budaya, ekologi seperti perusakan terhadap hidup dan perkembangan biota, ketidak berdayaan ekonomi, kemiskinan, peniadaan kesejahtereaan yang semuanya ini termasuk dalam persoalan HAM di Papua. (Bdk: Ecclesia In Nusa Tenggara:Daya Tahan Umat di Daerah Perbatasan)
Apabila kita ketahui bersama bahwa pada setiap 10 Desember, banyak warga masyarakat atau anggota umat memberikan perhatian dan “merayakan” Hari HAM dan pada tahun ini, para Pastor pun merayakan hari itu dengan menggelar Jumpa Pers Seruan Moral, maka merupakan sebuah tindakan sangat maju dan terpuji apabila para pastor sendiri pun duduk bersama untuk mendiskusikan dan merancang program-program pengembalaan umat ( program pastoral) terkait hari HAM tersebut sebagai bagian integral dari “Pendidikan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan ciptaan”.
Karya Pastoral Gereja di bidang HAM tidak lain adalah pastoral pengembangan budaya kehidupan dan damai yang merupakan hakekat dari evangelisasi yang dilakukan dalam karya pastoral bersama umat. Bagaimana para pastor secara kreatif “memanfaatkan” hari-hari menjelang hari HAM 10 Desember itu, sebagai hari kegiatan pastoral umat di bidang pengembangan budaya kehidupan, budaya adil dan damai.
Dalam rangka Hari HAM 10 Desember itu pun, para pastor dapat membuat program kerja tahunan, misalkan, bulan Desember disepakati dan ditetapkan bersama umat sebagai “Bulan Keadilan dan Damai” (apalagi bulan Desember adalah bulan Kasih menyongsong Natal – perayaan Damai di Bumi bagi orang yang berkehendak Baik!)
Kegiatan pastoral yang konkret yang dilaksanakan bersama umat menyongsong Hari HAM 10 Desember antara lain: mengumpulkan kaum muda (bisa secara fisik maupun live streaming) untuk sosialisasi atau diseminasi Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang sangat relevan dengan kehidupan kemasyarakatakn di Papua. Bukankah Isi ASG khususnya, Ensiklik Rerum Novarum (RN) dan Ensiklik Centesimus Annus antara lain membahas persoalan Kemiskinan? Kaum muda Katolik di Papua dalam menyongsong hari HAM itu, dapat didampingi para pastor atau awam Katolik yang berkompeten mendalami persoalan-persoalan kemiskinan di Papua dalam terang RN dan CA itu.
Selain itu juga, para pastor bersama umat membuat program “Sekolah Keadilan dan Perdamaian” bagi orang muda, keluarga, mahasiswa dan pelajar. Di “Sekolah Perdamaian dan Keadilan” itulah, peserta akan secara bertahap memahami apa itu keadilan dan perdamakian yang didapat dari pemaparan pelatih/pendamping juga sharing (berbagi pengalaman hidup) tentang praktek-praketk keadilan dan perdamaian di Tanah Papua yang mereka tahu dan alami sendiri. Sekolah Perdamaian dan Keadilan ini sebaiknya digelar dua minggu menjelang perayaan hari HAM 10 Desember dan diakhir dengan Ibadah bersama pada puncak hari HAM 10 Desember.
Selain itu, pada kesempatan Sekolah Keadilan dan Perdamaian itu, peserta akan dituntun secara sangat sederahana, bagaimana cara melakukan analisasi sosial (Ansos) sehingga sebelum mereka berjuang di tengah masyarakat untuk menegakkan HAM, mereka sendiri pun sudah memiliki “bekal” yang cukup memadai untuk melakukan analisasi sosial di tempat mereka berada.
Begitu pula, pada kesempatan Sekolah Keadilan dan Perdaaian, peserta dilatih menuangkan pikiran dan pandangannya tentang Keadilan dan Perdamaian di atas selembar spanduk atau poster. Mereka mendiskusikan bersama-sama arti dari ungkapan yang ditulis atau digambarnya itu.
Dengan demikian, apabila pada 10 Desember hari HAM, mereka menggelar spanduk atau memajang poster tentang HAM maka, mereka sendiri pun sudah memahami secara baik dan benar tentang arti dan makna dari tulisan dan gambar yang terpapar pada spanduk atau poster hasil karya mereka sendiri, serta memahami dampaknya bagi penegakkan HAM di tengah masyarakat.
Dengan demikian, hari HAM di Tanah Papua benar-benar dirayakan dalam konteks Karya Pastoral Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan ciptaan dan tidak hanya dengan menggelar jumpa pers Seruan Moral dan pada sore harinya digelarlah ibadah bersama dengan menyalakan lilin-lilin perdamaian yang mungkin saja tidak dipahami umat yang mengikuti ibadah itu.
Penutup
Jika hari HAM 10 Desember benar-benar dijadikan sebagai hari “Sekolah Keadilan Perdamaian” maka kita tidak lagi hanya menggelar jumpa pers untuk menyampaikan Seruan Moral secara sendiri-sendiri, tetapi para pastor berjalan bersama umat/masyaakat mengupayakan tegaknya HAM (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan ciptaan) yang diterangi cahaya Ajaran Sosial Gereja.
Dengan demikian, kita menggelar jumpa pers bukan karena ingin mengatakan bahwa kami juga ikut bersuara seperti “tetangga di sebelah rumah” yang sudah lebih dahulu bersuara, atau sebagai wujud rasa solider dengan “tetangga rumah” tetapi merupakan bagian integral dari karya pengembalaan umat di Tanah Papua.
Apabila para pastor Katolik dalam ketaatan (loyalitas) yang total dengan pemimpinya (uskup dan pemimpin ordo/kongregasi) sebagai konsekuensi atas janji Imamat saat ditahbiskan, terus bergendengan tangan - berjalan bersama umatnya dan bersama masyarakat umum yang majemuk ini untuk melaksanakan karya agung Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan ciptaan serta karya penegakkan HAM di Tanah Papua, maka itu berarti, mereka telah menjadikan karya agung ini sebagai sebuah Ibadah yang sejati.
Akhirnya, selama Tuhan masih memberikan nafas kehidupan kapada kita, maka selama itu juga kita terus bekerja dalam “diam yang aktif”. Selagi kita masih hidup, kita tidak butuh diakui dan dipuji serta dipuja sebagai pejuang keadilan dan perdamaian Tanah Papua. Nanti, setelah kita mati- terbaring kaku di dalam liang lahat, barulah orang menyadari dan mengakui bahwa, ternyata kita telah bekerja untuk keadilan dan perdamaian Tanah Papua, seperti yang telah disampaikan para Pastor dalam Seruan Moralnya:
”Kami merindukan seorang gembala yang berada di tempat yang paling depan untuk bertindak menyelamatkan Umat Tuhan, seperti yang telah ditunjukkan oleh almahrum Uskup Herman M. Munninghoff, OFM danalmarhum Uskup John Philip Saklil, Pr.Mereka telah mengangkat realitas penderitaan hidup umat Tuhan di Tanah Papua ini. Tetapi kini, rasanya seakan-akan semangat perjuangan mereka hilang terkubur bersama jasad mereka yang kaku di dalam liang lahat. Di manakah suara para Pemimpin kami saat ini untuk menyikapi tragedi kemanusiaan di Bumi Cenderawasih ini? Selama kita hidup, kita tidak perlu “mencari panggung”. Nanti setelah mati, barulah mereka yang hidup menggelar jumpa pers di atas panggung! Berkaryalah di dalam Diam yang Aktif.
Gloria Dei vivens homo – Kemuliaan Allah adalah purnanya hidup manusia! (St.Ireneus).
*Peter Tukan: Mantan Kepala Biro LKBN ANTARA Papua