Oleh: Peter Tukan*
PARA pengelola dana Bantuan Sosial (Bansos) bagi masyarakat Papua terkait pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19 ) di berbagai instansi pemerintah tingkat kabupaten, kota dan provinsi seantero Tanah Papua alias “sorga kecil jatuh ke bumi” mulai ketir-ketir, gemetar-berkeringat dingin pasca Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap para pejabat teras Kementerian Sosial (Kemensos) disusul Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara menyerahkan diri ke KPK, Minggu (12/6) sekitar pukul 02.50 WIB usai ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus suap dana Bansos itu.
KPK sebelumnya telah menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi Bansos Corona di Kemensos. Juliari selaku Mensos, Matheus Joko Santoso pejabat pembuat komitmen di Kemensos dan pejabat Kemensos Adi Wahyono diduga sebagai penerima. Sedangkan, tersangka diduga pemberi suap Ardian IM dan Harry Sidabuke dari swasta.
KPK menyita duit Rp14,5 miliar dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat pejabat Kemensos. Uang itu ditemukan dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing. Detailnya uang rupiah Rp11, 9 miliar, USD 171,085 (setara Rp2,420 miliar) dan SGD 23.000 (setara Rp243 juta).
Terkait kasus suap dana Bansos yang menjerat Juliari tersangka, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan telah membidik potensi korupsi sejak lama. Bahkan, KPK telah memetakan daerah yang menjadi titik rawan korupsi.
"Sejak awal KPK setelah pandemi COVID-19 itu melanda seluruh dunia dan melanda Indonesia tentu pemerintah sangat concern untuk penyelamatan manusia," ujar Firli dalam jumpa pers.
Menurut Firli, apa yang diincar KPK menjadi kenyataan yang dibuktikan dengan adanya dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Sosial. "Penyelenggara negara telah menerima hadiah yang dari pekerjaan bantuan sosial tersebut," tutur dia.
Kita kembali ke Tanah Papua yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sebenaqrnya KPK dan para penegak hukum polisi dan jaksa juga telah sangat lama, sejak dimulainya pengucuran dana Bansos dari Pusat ke Bumi Cenderawasih ini, sudah mencium aroma sangat tidak sedap dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menggurita dalam rangka belanja Bansos di berbagai tempat penjualan “Sembilan Bahan Pokok” (Sembako) untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada masyarakat di Papua.
Penegak hukum seperti pihak kejaksaan negeri (Kejari) dan Polres di tingkat kabupaten serta Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Polda di tingkat provinsi, sebenarnya sudah memiliki data dan bukti sangat kuat dan akurat untuk menangkap dan menjebloskan mereka yang diduga sebagai koruptor dana Bansos itu ke dalam Bui (penjara) alias “hotel prodeo” .
Rasa terkejut dan ketir-ketir para koruptor dana Bansos di Papua itu, mencuat saat mereka mendapat berita dan gambar (video) yang disiarkan berbagai media sosial dan media online serta media arus utama seperti TV dan radio serta surat kabar bahwa KPK berhasil melakukan OTT terhadap para pejabat Kemensos termasuk Mensos Juliari P.batubara sendiri serta para kroni-kroni mereka dalam dua hari terakhir ini.
Sibuk berkemas, Bersembunyi dan Hilangkan jejak
Tidak tertutup kemungkinan, sejak KPK berhasil melakukan OTT para pejabat Kemensos itu, para koruptor di Tanah Papua mulai sangat sibuk mengemas laptop, komputer penyimpan data Bansos yang berada di kantor dan rumah mereka masing-masing. Surat-surat transaksi jual beli Sembako, dan dokumen lainnya seperti nota belanja-setelah dilakukan pembengkakan harga di tempat penjualan Sembako, mulai cepat-cepat dirapihkan dan “diamankan” dengan cara, membakar atau membuang di tempat sampah, atau juga diungsikan ke rumah tetangga atau rumah kenalan terdekat.
Mereka tidak lagi menggunakan telepon genggamnya untuk membuat janji bertemu dengan para penjual Sembako itu, tetapi langsung berlari- bersimbah keringat mendatangi rumah penjual Sembako dan gudang sembako guna melakukan peninjauan kembali semua nota belanja dan kwiansi - bukti bayar yang sudah bermeterai itu.
Mereka pun mulai bergegas mendatangi tempat-tempat pembuatan stempel-cap lembaga yang dipimpinnya, untuk menggandakan stempel-cap tersebut agar mudah dan cepat menuntaskan berbagai dokumen tertulis yang membutuhkan cap instansinya, sehingga apabila pada malam hari nanti, atau menjelang subuh, pintu rumah mereka digedor polisi dan jaksa dalam rangka penjemputan dan pengenaan rompi oranye koruptor, semua dokumen rekayasa itu sudah tuntas untuk nantinya dibacakan di depan penyidik KPK dan hakim Tipikor.
Tabungan sang istri, anak-anak, ipar dan orangtua mulai dipindahkan ke tabungan lain atau diambil dengan cara tunai di ATM dan bank-bank terdekat. Ada pula dana hasil korupsi itu harus dengan segera disimpan dalam rekening tabungan pengemudi mobil keluarganya.
Begitu pula, mobil-mobil roda empat yang dibeli dan “direntalkan” pun mulai dipersiapkan untuk dilakukan “balik nama”. Mobil-mobil yang dibeli hasil korupsi dana Bansos itu pun untuk sementara dialihkan kepemilikannya kepada para pengemudi kendaraan rental tersebut.
Kepemilikan tanah dan bangunan rumah toko (Ruko) pun disulap di depan Notaris sebagai yang dimiliki oleh pembantu rumah tangga.
Hotel-hotel tempat mereka melakukan pembagian dana Bansos, dan tempat mereka membuat nota-nota palsu belanja Sembako, segera mereka datangi untuk melakukan pembicaraan empat mata dengan pemilik hotel tersebut dalam rangka menghilangkan jejak identitas tamu hotel yang adalah mereka sendiri bersama kroni-kroninya ketika mereka bergotong-royong membuat nota palsu dan ketika mereka membagi-bagi “uang jarahan” hasil korupsi dana Bansos itu.
Masih banyak lagi “kesibukan” hingat-bingar para pejabat itu pada beberapa jam pasca KPK melakukan OTT terhadap para pejabat Kemensos dan Mensos Juliari P.Batubara bersama kroni-kroninya di Jakarta dalam dua hari terakhir ini.
Ternyata, realitas membuktikan bahwa hampir semua calon koruptor dana Bansos, bukti dan data sudah lama dikantongi pihak kepolisian dan kejaksaan di hampir seluruh wilayah Tanah Papua. Kini, tinggal keberanian dan keteguhan hati para penegak hukum itu untuk bergerak cepat menyelamatkan uang negara, sekaligus bertindak cepat memberantas penyakit sosial korupsi ini sampai ke akar-akarnya.
Mantan Kejati Papua, Herman da Silva,SH pernah mengatakan, jumlah koruptor di Papua ini begitu banyaknya bagaikan segerombolan ikan di tengah lautan luas yang mengerumuni umpan, tinggal kapan saja penegak hukum datang menjemput mereka satu demi satu, tetapi apakah kapasitas atau daya tampung rumah tahanan atau Rutan di Papua memadai untuk “mengistirahatkan” para koruptor sebanyak itu?
Patut diingat pula bahwa, menangkap dan menjerat orang yang diduga melakukan korupsi dana Bansos Covid (juga uang negara lainnya) oleh polisi dan jaksa di Papua, tidaklah semudah membalikkan telapak tanga, karena mereka yang diduga mengorupsi uang negara itu, tentu saja sudah memiliki jurus-jurus jitu untuk mengabur-airkan kasus korupsi dan meloloskan diri dari sergapan para penegak hukum ini.
Apabila mereka yang terduga korupsi ini sudah sangat-sangat terjepit bagaikan “air sudah di batang leher”, maka mereka pun akan segera menggerakkan para “pembela bayaran” untuk berunjuk rasa besar-besaran menuntut polisi dan jaksa agar tidak melakukan kriminalisasi terhadap orang yang diduga melakukan korupsi itu. Apalagi, banyak orang sudah memahami bahwa menggelar unjuk rasa dengan peserta yang berjubel-jubel adalah salah satu cara ampuh yang dilakukan para terduga korupsi untuk menghentikan rencana penangkapan atau “menghadang” penyergapan yang dilakukan para penagak hukum terhadap terduga korupsi itu.
Begitu pula, para “pembela bayaran” akan berteriak sekeras-kerasnya untuk mengalihkan persoalan dari kasus dugaan korupsi kepada dugaan kriminalisasi.
Kasus memalukan
Terkait korupsi, pakar pendidikan Indonesia, Dr Jan Riberu mengatakan bahwa bertubi-tubi kasus-kasus memalukan melanda bangsa besar ini! Ada kasus korupsi, ada kasus kolusi.
Mencuatnya korupsi dan kolusi belakangan ini, demikian pula penilaian orang luar, bahwa Indonesia menduduki peringkat cukup tinggi dalam hal korupsi, haruslah mencambuk kita untuk melakukan sesuatu menentang penyakit sosial yang sudah lama bercokol di dalam tubuh masyarakat kita.
“Penyakit sosial ini erat kaitannya dengan kesadaran moral yang dimiliki para pelaku. Kesadaran moral adalah kesadaran bahwa tindakan yang dilakukan, harus dilakukan sambil berpedoman kepada norma baik dan buruk, sesuai dengan paham dan nilai yang diyakini. Kesadaran moral menyebabkan orang merasa bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan.
Tanggungjawab itu meliputi tanggungjawab terhadap sesama, dan lingkungan dimana dia hidup, dan terakhir dan terpenting tanggaungjawab terhadap Tuhan Sang Pencipta,” kata Riberu (Baca : Pergulatan Pemikiran DR.Jan Riberu dalam “Pendidikan, Relasi Agama – Negara dan Pancasila” Hal.343-346).
Kesadaran moral, lanjut Riberu bukannya pengetahuan melainkan sikap hidup, sikap batin yang mendarah-daging di dalam diri seseorang. Pengetahuan memang membantu, akan tetapi yang menentukan adalah kehendak kuat untuk melakukan hal yang baik dan patut dikerjakan.
“Bahwa di depan uang miliaran rupiah, orang tidak mengambil sesen pun; bahwa sambil bergelimang dalam kekuasaan, orang tetap berpegang kepada ketentuan yang berlaku; bahwa waktu memiliki kesempatan emas untuk bersekongkol tetapi orang tetap tidak mau menyeahgunakan posisi; bukan soal tahu atau tidak tahu, melainkan soal mau atau tidak mau. Bukan soal pengetahuan, melainkan soal kesadaran. Kesadaran akan membuat manusia mampu mengendalikan diri. Tanpa kesadaran, norma-norma dapat saja diketahui, akan tetapi tidak menjadi pengendali perilaku,” kata Riberu mengingatkan.
Lahir dari ketidakjujuran
Pemimpin spiritual umat Katolik Keuskupan Jayapura, Papua, Uskup Leo Laba Ladjar,OFM sangat prihatin dengan adanya penyakit sosial yang satu ini yakni korupsi yang merajalela di Tanah Papua. Untuk itu, pada kesempatan menyongsong pesta keagamaan umat Kristiani yaitu Paskah tahun 2017, dia menulis “Surat Gembala” (Nota Pastoral) yang ditujukan pertama-tama kepada umat Katolik yang dipimpinnya dan berikutnya kepada semua orang (tanpa bedakan suku, agama, ras dan gologan) yang berkehendak baik, agar hidup secara jujur sekaligus bersama-sama bergotong royong melawan korupsi.
Pada 1 Maret 2017, Uskup Leo menulis Surat Gembala berjudul “Mari Hidup Jujur, Lawan Korupsi”.
“Relasi yang baik dengan sesama, dibangun atas kekuatan-kekuatan moral, seperti kejujuran dan keadilan. Tiadanya kejujuran dan keadilan membuat banyak orang dan seluruh masyarakat menderita kerugian. Sebab dari Hati yang tidak jujur dan perilaku yang tidak adil, lahirlah penyakit dan dosa-dosa sosial seperti korupsi, penipuan, pemerasan, dan pencurian,” tulis Uskup Leo Laba Ladjar,OFM. (Baca: “Suara Uskup Keuskupan Jayapura” 2019, Hal.174-180).
Secara sangat terbuka, Uskup Leo mengatakan bahwa penyakit sosial yang amat parah di masyarakat kita adalah korupsi. Penyakit itu sudah menjadi wabah dan menjadi kejahatan. Banyak orang di semua tingkatan dan lapisan terjangkit wabah korupsi. Mereka dengan sengaja merancang sistem dan cara berkorupsi untuk bisa meraup harta benda sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat tanpa kerja dengan keras dan jujur.
“Korupsi sudah menjadi wabah nasional. Ia menular dari pusat ke daerah, dari kota ke desa. Unsur-unsur pimpinan di pusat dan di daerah sudah terjangkit korupsi. Lembaga-lembaga Negara yang seharusnya menjadi penegak hukum dan penjaga konstitusi tidak luput dari virus korupsi,” tulis Uskup Leo.
Lebih lanjut dia mengatakan, agama-agama dan Gereja-gereja semestinya menjadi benteng moralitas kejujuran, ternyata turut bermain dan membiarkan benteng moralitas itu jebol. Keadaan memrihatinkan. Sebab kalau hukum, konstitusi dan moralitas tidak lagi diindahkan berarti Negara dan Bangsa kita digoyahkan dan gampang runtuh.
Menghadapi panyakit sosial yang sangat menghawatirkan ini, Uskup Leo memberikan beberapa ajakan untuk bertindak memberantas korupsi, antara lain, mulai dari pendidikan anak-anak untuk berperilaku jujur. Orang mulai belajar korupsi dari kecil kalau tidak diajar untuk jujur.
Tindakan anak dan perilakunya yang tidak jujur memupuk mental koruptif. Maka, mulailah dengan mendidik anak untuk jujur dalam menggunakan uang sakunya untuk hal-hal yang baik dan membantu teman yang tidak punya. Di sekolah anak-anak dibiasakan untuk jujur, tidak nyontek, dan tidak korupsi waktu dengan bolos.
Begitu pula, suami- istri hendaknya mengurus ekonomi rumah tangga dengan juur dan terbuka. Cinta yang mempersatukan suami-istri mestinya juga mempersatukan mereka dalam satu dompet, satu buku kas, satu anggran pendapatan dan belanja rumah tangga. Dengan begitu dihindari kebohongan dan kepalsuan.
Dalam masyarakat luas perilaku koruptif dengan modus yang bermacam-macanm juga bisa diberantas kalau, ada kejujuran dan rasa keadilan. Tanpa hati yang jujur dan rasa keadilan, hukuman atau sanksi seberat apapun ternyata tidak membuat jerah.
Sering kali TV justru menayangkan koruptor, yang digiring ke ruang tahanan dengan jaket KPK, tampil dengan wajah cerah, senyum dan melambaikan tangan seperti seorang pemang olahraga yang tampil di depan publik yang mengelu-elukannya.
“Itu tanda bahwa tidak ada penyesalan, tidak ada pertobatan. Korupsi dilihat hanya sebatas permainan adu untung, bukan soal salah-benar, bukan soal dosa,” kata Uskup Leo Laba Ladjar,OFM.
*Peter Tukan: mantan Kepala Biro LKBN ANTARA Papua