Oleh: Rafli Hasan
PERNAHKAH kita mendengar ungkapan dalam bahasa Inggris seperti ini?“Get Some Perspective!”Perspective atau perspektif diketahui berdasarkan fokus kita terhadap nilai-nilai dimana kita berada pada suatu saat tertentu. Ada orang bilang seperti ini, “Jika kita ingin menuliskan keindahan suatu tempat, tunggu sampai kita pergi menjauh dari tempat itu.”Karena dengan kondisi itu, kita bisa memiliki perspektif yang berbeda. Berangkat dari pemahaman tersebut, saya mencoba merespon artikel pemberitaan media Tempo berjudul “Menampar Muka di Tanah Papua.”Sebuah artikel yang diterbitkan tanggal 28 Nopember lalu tentang pembatalan rapat dengar pendapat (RDP) disejumlah daerah Papua. Surat Badan Intelijen Daerah Papua yang menyatakan bahwa RDP memiliki agenda referendum dan Badan Intelijen Daerah Papua merekomendasikan penggembosan kekuatan pro-kemerdekaan.
Dari perspektif yang berbeda, saya mencoba untuk menguraikan persoalan ini secara cover both storiesdengan menyisipkan sedikit pesan moral bahwa seorang jurnalis memiliki tugassejati yang maha berat yaituuntuk menyampaikan kejujuran.
1. Pembatalan RDP di sejumlah daerah Papua.Sejak awal rencana RDP disejumlah wilayah adat di Papua, sebenarnya bukan hanya didasarkan pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua,namun ada latar belakang lainnya yang dilandasi motif tidak baik yang diduga dari oknum tertentu birokrat Papua sendiri. Pasal 77 UU Otsus Papuayang menyebutkan bahwa "Usul perubahan atas Undang Undang ini (UU Otsus Papua) dapat diajukan oleh rakyat Propinsi Papua (Papua Barat) melalui MRP dan DPRP atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan".Selanjutnya, pasal 78 UU Otsus Papua menyebutkan, "Pelaksanaan UU ini (UU Otsus Plus) dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah UU ini berlaku".Pada Agustus 2020 laludalam sebuahwawancara sebuah stasiun televisi, Gubernur Papua Lukas Enembe secara tegas menolak evaluasi UU Otsus Papua dan mempertanyakan kembaliusulan Pemprov. Papua tahun 2013 lalu, tentang Otsus Plus yang digagas olehLukas Enembe bersama dua koleganya yaitu Timotius Murib (Ketua MRP) dan Yunus Wonda (Ketua DPRPsaat itu, saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRP).
Setelah wawancara tersebut, beberapa tokoh yang dikenal sebagai simpatisan pro kemerdekaan Papua mulai bereaksi di antaranya adalah Socrates Sofyan Yoman, Presiden Gereja Babtis se-Tanah Papua yang mendukung pernyataan Gubernur tersebut bersama para tokoh lainnya seperti Pendeta Benny Giay dan Dorman Wandikbo, bahkan Pendeta Socrates menggalang dukungan melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua yang merekomendasikan penolakan Otsus Papua dan permintaan referendum.
Sementara itu, kelompok-kelompok pro kemerdekaan Papua seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), dan United Liberation Movement for West Papua(ULMWP) secara simultan dan terus menerus mengangkat isu yang sama yaitu penolakan keberlanjutan Otsus hingga referendum. MRP Provinsi Papua dan Papua Barat sendiri sempat merekomendasikan Pemerintah Pusat untuk berdialog dengan ULMWP sebagai salah satu solusi penyelesaian persoalan di Papua Maret lalu.
Dan yang paling menusuk Pemerintah Pusat adalah rekomendasi penolakan keberlanjutan Otsus oleh MRP Provinsi Papua Barat pada Oktober lalu, dan permintaan kepada Pemerintah Pusat untuk memberikan referendum bagi rakyat Papua.Melihat perkembangan dan indikasi-indikasi tersebut, menjadi hal yang wajar apabila Badan Intelijen Daerah Papua menilai dan menyiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap ancaman disintegrasi bangsa.
Bukankah hal tersebut sudah menjadi bagian dari tugasnya?Selain dari pada itu, pertanyaan lain yang munculadalah jika benar Otsus plusini adalah hasil aspirasi rakyat Papua, kenapa RDP tidak dilaksanakan pada saat itu(sebelum 2013)? Bukankah usul perubahan atas UU tersebut dapat diajukan melalui MRP dan DPRP dengan mekanisme mendengar aspirasi rakyat secara langsung?Kenapa baru sekarang ketika pemerintah hendak melakukan evaluasi Otsus dan menyiapkan anggaran untuk program Otsus selanjutnya?
2. Surat Badan Intelijen Daerah Papua yang menyatakan bahwa RDP memiliki agenda referendum.Selain indikasi-indikasi yang muncul di poin satu di atas, mekanisme sosialisasi yang dilakukan MRP dan MRPB sebelum pelaksanaan RDP di wilayah adat di sejumlah wilayah terkesan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan aparat baik birokrasi setempat maupun aparat keamanan yang di tengah masa pandemic COVID 19 seperti saat ini berperan aktif dalam menjalankan pembatasan sosial guna mencegah penyebaran virus corona.
Demikian juga halnya dengan agenda-agenda rapat persiapan RDPU yang tertutup dan tidak memberikan akses kepada aparat keamanan untuk terlibat di dalamnya. Pertanyaannya adalah jika memang tidak ada agenda yang disembunyikan, untuk apa seluruh rangkaian persiapan RDP dilakukan secara tertutup dan sembunyi-sembunyi? Bukankah RDP bertujuan untuk menggalang aspirasi masyarakat? Pertanyaannya masyarakat yang(sebelah)mana?
3. Badan Intelijen Daerah Papua merekomendasikan penggembosan kekuatan pro kemerdekaan Papua.Melihat persoalan Papua, hendaknya kita jangan terlalu naïf, bahwa pergerakan kelompok-kelompok kemerdekaan Papua hanya berkutat di wilayah hutan dan pegunungan dengan aksi-aksi penembakan baik terhadap aparat maupun masyarakat sipil. Kelompok-kelompok pro kemerdekaan Papua juga bergerak di kota-kota, di tengah masyarakat, bahkan di gedung-gedung pemerintahan Papua yang megah dan mewah dengan topeng-topeng pejabat, pendeta/pemuka agama dan aktifis HAM. Mereka nyata dan begitu terang-terangan menyebarkan provokasi dan ujaran kebencian di berbagai media sosial maupun online. Demikian juga halnya dengan para jurnalis dan media-media onlinelokal yang secara terus menerus menyuarakan berbagai provokasi, disinformasi dan penyesatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pro kemerdekaan Papua ini.Maka tidak heran apabila Badan Intelijen Daerah Papua melihat persoalan ini sebagai sebuah ancaman terhadap disintegrasi bangsa di tengah kondisi global dan domestik yang terpuruk akibat hantaman pandemic COVID 19.
Tidak mudah memang, memahami perspektif yang berbeda dari sebuah profesi yang unik dari orang-orang aneh, sebagaimana judul sebuah buku yang ditulis oleh Supono Soegirman tahun 2012. Unik karena profesi mereka ini melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain, mendengar apa yang tidak orang lain dengar dan mengerjakan apa yang tidak orang lain kerjakan.
Sementara aneh karena sebagaimana jargon mereka sendiri, berhasil tidak berharap pujian, namun gagal sudah pasti siap untuk dicaci maki.Perspektif inilah yang saya coba sampaikan sebagai respon dari artikel Tempo “Menampar Muka di Tanah Papua.”Ibarat sebuah perjalanan yang sesungguhnya dalam sebuah ekspedisi, bukan untuk menemukan daerah baru, namun melihatnya dengan mata baru.
Akhirnya, saya hanya mencoba untuk menyampaikan kepada para jurnalis yang budiman, bahwa apa yang kita lihat dan dengar sangat tergantung dimana posisi kita berdiri, dan hal itu juga menentukan manusiaseperti apa kita.Remember:“Everything we hear is an opinion, not a fact. And everything we seeis perspective, not the truth.”Selamat Menyambut Bulan kasih Kristus, Get Some Perspective!
*Rafli Hasan: Pengamat Politik Papua tinggal di Timika