SURABAYA,wartqplus.com - Praktisi dan pengajar Hukum Universitas Surabaya, Marianus Gaharpung, SH, M.S mendesak Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) agar segera membatalkan Keputusan KPU RI No. 584/PL.02.2 Kpt/06/KPU/XI/2020 Tentang Penetapan Pasangan Peserta Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Boven Digoel Tahun 2020, karena keputusan KPU RI tersebut cacat hukum dan oleh karena itu harus dibatalkan.
Hal itu disampaikan Marianus Gaharpung di Surabaya, Senin (30/11/2020) menanggapi terbitnya SK KPU RI yang kontroversial terkait pembatalan keikutsertaan calon bupati Yusak Yaluwo dan calon wakil bupati Yacobus Weremba sebagai peserta dalam Pilkada Bupati Boven Digoel 9 Desember 2020 mendatang.
“Adapun alasan KPU RI harus membatalkan keputusannya karena di dalam pertimbangan butir d menyatakan bahwa kecuali bagi mantan terpidana yang diancam lima tahun atau lebih frase menjalani hukuman lima tahun artinya, yang bersangkutan harus berada di dalam penjara selama lima tahun. Ketika yang bersangkutan keluar dari penjara, maka yang bersangkutan berhak untuk mencalonkan diri pada Pilkada Bupati Boven Digoel,” kata Marianus dalam rilisnya yang diterima wartaplus.com.
Marianus menjelaskan, ketika ketentuan peraturan perundang-undangan mengatakan bahwa pidana bersyarat 2017 bagi Yusak dan beliau sudah berada di luar penjara maka beliau adalah warga negara yang bebas menjalankan hak politiknya, dengan ketentuan ketika saat 2017 sampai dengan 2020 yang bersangkutan mengulangi, barulah dikatakan melanggar hukum dan jabatannya digantikan oleh wakilnya, seandainya terpilih pada Pilkada itu.
Arti ketentuan bersyarat adalah bukan limitatif (bukan sesuatu yang pasti) tetapi melalui keputusan KPU itu, bisa mematikan hak keperdataan dan hak politik seseorang, sebab hak politik seseorang hanya bisa dimatikan melalui keputusan pengadilan. Jadi, atas dasar itu, keputusan KPU RI tersebut harus dinyatakan batal atau tidak sah.
Apakah KPU bisa meyakini, bahwa Yusak akan melanggar hukum percobaan? Sebab makna hakiki dari hukuman percobaan adalah, jika yang bersangkutan berbuat pidana korupsi lagi maka yang bersangkutan wajib dipenjara lagi; dan perlu diingat bahwa hukum pidana yang bisa menghilangkan hak keperdataan, hak politik dan hak hidup adalah hukuman mati, penjara, kurungan dan denda; selain dari pada itu, tidak ada dan tidak boleh.
Oleh karena itu, Marianus menyarankan agar Yusak bersama Timnya sesegera mungkin minta legal opinion kepada Mahkamah Agung tentang makna dari pidana bersyarat, apakah bisa mematikan hak keperdataan dan hak politik seorang warga negara.
Contrarius actus
KPU RI, lanjutnya harus melakukan asas contrarius actus. KPU RI-lah yang mengeluarkan keputusan yang sangat tidak fair dan tidak adil serta tidak mencerminkan rasa keadilan dan kepastian. Karena suatu peraturan yang dibuat, tidak saja harus memiliki aspek kepastian tetapi juga keadilan.
Persoalannya adalah, SK KPU RI yang membatalkan Yusak dan pasangannya itu, sangat tidak adil karena pasangan calon bupati dan calon wakil bupati ini sudah menjalani semua prosedur dan persyaratan bagi pasangan calon bupati dan wakil bupati sesuai peraturan Pilkada.
Pertanyaannya adalah mengapa tinggal sembilan hari saja untuk pemberian suara di TPS dan kini sudah memasuki hari tenang, kok KPU RI baru mengeluarkan keputusan yang sangat fatal dan mematikan hak politik seseorang. Inilah keputusan KPU RI yang kami nilai tidak adil!
Siapa saja dan kelompok mana saja, jika terkena keputusan seperti ini, pasti marah dan mengamuk. KPU RI justru menyulut kerusuhan itu. Oleh karena itu KPU harus menggunakan asas contrarius actus artinya, KPU yang keluarkan keputusan membatalkan Yusak dan Yakob sebagai pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Boven Digoel, maka KPU pun wajib mencabut SK tersebut karena tidak memenuhi aspek keadilan dari keputusan tersebut.
Patut pula diketahui bahwa sanksi pembatalan itu, dengan alasan sebagaimana disampaikan KPU RI tersebut ternyata tidak diatur di dalam pasal 90 PKPU 9/2020. Pasal 90 itu untuk temuan pidana baru, bukan untuk mantan narapidana.
“Jika tidak diatur berarti boleh. Lalu mengapa KPU menerbitkan SK untuk membatalkan Yusak dan Yakob?. Jadi, sekali lagi KPU harus menggunakan asas contrarius actus. KPU yang membuat keputusan maka KPU jugalah yang berhak mencabutnya agar kekacauan masyarakat bisa teratasi,” kata Marianus Gaharpung. *