JAYAPURA,wartaplus.com - Pembatasan dan pembubaran paksa aksi mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) yang dilakukan oleh aparat gabungan POLRI TNI pada aksi penolakan otsus yang dilakukan oleh mahasiswa Uncen, tanggal 28 September 2020 di Kampus Uncen adalah merupakan tindakan kejahatan. Ini diungkapkan Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua Gustaf Kawer, S.H, dan Yohanis Mambrasar, S.H (Advokat) dalam rilisnya yang diterima wartaplus.com, Selasa (29/9) pagi
Dikatakan Direktur Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua Gustaf Kawer, S.H, tindakan ini merupakan kejahatan pembatasan hak menyampaikan pendapat di muka umum, yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara (mahasiswa), tindakan kejahatan tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU N 09/1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, bawah: ayat (1) : “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekersan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan undang-undang ini dipidana dengan pindana penjara paling lama 1 (satu) Tahun”. ayat (2) : “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan”.
Kronologis
Aksi mahasiswa uncen ini dilakukan di Kampus Uncen Abepura dan Kampus Uncen Waena, aksi mahasiswa ini dilakukan dengan nama Front Mahasiswa dan Rakyat Papua, yang bertujuan melakukan aksi penolakan otsus jilid II ke Kantor Gubernur Papua.
Aksi ini pada pukul 9.00 WIT dengan mahasiswa mulai berkumpul dan melakukan orasi-orasi penolakan otsus, serta menyerukan referendum. Aksi di Kampus Uncen Waena mendapat penjagaan ketat oleh aparat gabungan Polisi dan TNI, dan aparat pun membatasi aksi mahasiswa dengan melarang mahasiswa melanjutkan aksi dan memaksa mahasiswa untuk bubar dari tempat aksi.
Aksi di Kampus Uncen Abepura dibubarkan paksa oleh aparat gabungan Polisi dan TNI Angkatan Darat (AD) dan Angkatan Laut (AU). Pada pukul 10.50 WIT aparat membubarkan paksa mahasiswa dengan memukul para mahasiswa, mahasiswa pun merespon tindakan aparat tersebut dengan melemparkan batu. Polisi pun melakukan penembakan dan mengejar mahasiswa, sehingga masa demosntran mahasiswa mundur dan lari menyelamatkan diri, lalu kemudian masa aksi mahasiswa kembali berkumpul lagi dan menduduki ruas jalan di samping kampus Fakultas Hukum Uncen Bawah.
Dikatakannya, saat melakukan pembubaran paksa ini polisi menangkap tiga orang mahasiswa yang merupakan penanggung jawab aksi yaitu (1) Ayus Heluka, (2) Salmon Tipogau dan (3) Kristian Tegei. Polisi juga memukul 2 orang mahasiswa hinga terluka dan berdarah.
Dua orang mahasiwa yang dipukul dimaksud yaitu (1) Yabet Lukas Degei dan (2) Selius Wanimbo. Yebet Lukas Degei dipukul dibagian kepala belakang hingga kepalanya terluka dan berdarah, sedangkan Selius Wanimbo dipukul dengan popor senjata di bagian badannya hingga terluka dan berdarah. Tiga orang pimpinan aksi yang ditangkap kemudian di bawa ke Polsek Abepura ditahan sekitar satu jam dan dibebaskan setelah perwakilan mahasiswa, pihak kampus dan pendamping hukum melakukan negosiasi dengan Kepolsek Abepura dan adanya kesepakatan bersama untuk aksi tidak dilanjutkan. Masa aksi dan aparatpun kemudian bubar pada pukul 12.10 WIT
Diungkapkannya, sebelum aksi ini dilakukan, pihak mahasiswa telah meberikan surat pemberitahuan aksi kepada Polisi pada tanggal 22 September 2020, bahkan korlap aksi telah bertemu langsung dengan Kasat Intelkan menjelaskan secara lengkap tentang rencana kegiatan aksi, rute dan perlengkapan yang akan digunakan, Kasat pun telah mengambil Nomor Kontak Kordinator Aksi. Namun empat hari kemudian (24/09) Polisi memberikan surat permeberitahuan tidak diterbitkannya STTP kepada Korlap Aksi.
Pada tanggal 26 September, Kasat Intelkam pun bertemu dengan Presiden Mahasiswa Uncen untuk meminta aksi tidak dilaksanakan, namun dari negosiasi tersebut pihak Polresa Jayapura yang diwakili Kasat Reskrim bersepakat untuk aksi dapat dilakukan di dalam lingkungan Kampus Uncen.
Pendapat Hukum
“Bahwa tindakan paksa disertai penembakan membubarkan aksi mahasiswa Uncen yang dilakukan oleh aparat gabungan Polri -TNI pada hari ini 28 September 2020 di Kampus Uncen Abepura merupakan upaya menghalang-halangi dan merupakan pembatasa hak menyampaikan pendapat di muka umum mahasiswa Uncen. Tindakan ini merupakan tindakan kejatahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No 09 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,”ujarnya.
Dikatakan, tindakan aparat ini tidak dapat dikatakan sebagai merupakan penegakan hukum atau perintah hukum, karena tindakan kepolisian dan TNI ini tidak dilakukan sesuai SOP pengendalian aksi masa damai (Hijau) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Kapolri No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Masa.
“Peraturan Kapolri tentang pedoman pengendalian massa secara jelas telah mengatur langkah-langkah kepolisian dalam nangani aksi masa dalam tahapan sistuasi tertib/damai (hijau), tidak tertip (kuning), hingga situasi melanggar hukum (mera). Jadi mestinya tindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalam mengawal jalannya aksi juga harus sesuai SOP dimaksud. Aksi mahasiswa ini masi dalam situasi tertib atau damai (hijau) yang mestinya dalam penanganan polisi tidak melakukan pembubaran paksa, pemukulan dan penembakan. Sesuai perintah perkap, dalam situasi aksi tertib atau damai (hijau) tindakan yang dilakukan oleh kepolisian adalah melakukan pengawalan dan pengawalan, melakukan negosiasi dan perundingan, sebagaimana diatur dalam huruf a sampai m pasal 8. Sebaliknya bukan polisi melakukan pembubaran paksa dan penembakan seperti yang terjadi dalam kasus ini,”tandas Gustaf.
Dikatakan, tindakan kepolisian ini sebaliknya merupakan tindakan yang dilarang dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan g Peratura Kapolri tentang Pedomen Pengendalian Masa, tindakan ini juga merupakan pelanggaran atas pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 huruf b Peraturan Kapolri Nomor 08 Tahun 2012 Implementasi Prinsip dan Strandar HAM Dalam Penyelenggaran Tugas POLRI Pasal 18 ayat ( 1) UU Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Pasal 25 UU HAM, Pasal 19 UU Pengesahan Konvensi Internasional Hak SIPOL dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Dikatakannnya, Polisi sebagai penegak hukum mestinya wajib taat hukum dengan melakukan penegakan hukum sesaui aturan hukum tanpa alasan yang tidak sesuai hukum, apalagi menapsirkan penegakan hukum atas dasar perintah atasan yang tidak sesuai Undang-Undang atau berdasarkan Surat Tidak
Diterbitkannya STTP, sebagaimana dalil polisi dalam membubarkan aksi ini. Polisi wajib menegakan hukum secara professional dengan bertindak tepat dan terukur. Bukan sebaliknya melanggar hukum dengan dalil menegakan hukum, alasan ini dapat dibenarkan secara hukum.
Semua Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Kapolri yang memberikan mandat kepada POLRI untuk melakukan penegakan hukum dan keamanan dan Undang-Undang yang mengatur tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat atau pun berkaitan dengan kepentingan umum/publik di bawah kendali Undang-Undang Dasar 1945 telah mewajibkan seluruh aparatur negara termasuk POLRI dan TNI untuk wajib melindungi,menjunjung, dan bahkan turut memajukan Hak Azasi Manusia dalam segala aspek termasuk hak menyampaikan pendapat di muka umum, seperti yang diselenggarakan oleh mahasiwa Uncen maupun masyarakat Papua lainnya.
Pernyataan Sikap
Atas tindakan tidak profesionalnya aparat Polri TNI dalam membubarkan paksa aksi Mahasiswa Uncen dimaksud, dan sebabagai bentuk ketataan kami terhadap hukum dan mendorong pemerintah Indonesia khususnya Polri TNI untuk taat hukum, maka kami PAHAM Papua menyatakan :
(1). Hentikan Selaga Bentuk Pembatasan Hak menyampaikan pendapat warga dan kekerasan bentuk apapun terhadap warga;
(2). Kapolri dan Panglima TNI Segera merubah pendekatan kekerasan dalam penegakan hukum dan Keamanan di Papua;
(3). Kapolri segera mengevaluasi kinerja Kapolda Papua, Kapolresta Jayapura dan Kapolsek Abepura dan mengganti dengan polisi Papua yang lebih profesioanl;
(4). Menyerukan kepada seluruh komunitas pembela HAM di Papua, Indonesia maupun Internasional agar turut melakukan pemantauan situasi HAM di Papua dan mengambil langka-langka kongkrit mendesak pemerintah Indonesia menghentikan segala kekerasan dan pembatasan HAM orang Papua.*