Oleh :Kapolda Papua Irjen Pol Drs. Paulus Waterpauw
Yang pertama era Kerajaan, dalam era kerajaan, terdapat kerajaan Hindu-Budha yang berjaya pada massanya yaitu kerajaan Sriwijaya dengan Puncak kejayaan pada abad ke-7 menguasai Kamboja, Selat Malaka, Jawa sampai dengan Kalimantan dan menjadi coin collector, namun seiiring degan munculnya kerajaan Mataram di Jawa, Energi Sriwijaya terpecah dan berujung lepasnya Malaka dan kehancuran kerajaan ini karena persaingan antar mereka sendiri dan saling menjatuhkan.
Selanjutnya muncul kerjaan Majapahit dengan puncak kejayaan pd abad ke-14 menguasai dari Thailand sampai Papua Nugini dan Timor Timur dengan Sumpah Palapa, Strategi penguasaan wilayah melalui diplomasi dan persekutuan yang merangkul kerajaan-kerajaan kecil di Asia Tenggara, kehancuran Kerjaan Majapahit akibat konflik suksesi kepemimpinan.
Kemudian era Kolonial Belanda pada tanggal 5 Juni 1595, Belanda mendaratkan Kapalnya di Sumatera dan tanggal 22 Juni 1595 mendarat di Banten yang dipimpin Cornelis de Houtman serta tahun 1858 mendarat di Maluku dengan tujuan awal ingin berdagang namun akhirnya menjajah Indonesia dan terjadi perlawanan-perlawanan, namun karena sifanya kedaerahan sehingga perlawanan terhadap belanda tidak berhasil sehingga Indonesia dijajah selama 350 tahun.
Era Kebangkitan Nasional pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.
Kemudian Perang Dunia II pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942
Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia Belanda sebelum perang. Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu dan tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekannya.
Dimasa Era Orde Lama dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Era Orde Baru pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi (Pelita) sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
Reformasi merupakan suatu perubahan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan baru yang secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan prubahan terutama perbaikan dalam bldang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan pendidikan.
Dampak utama reformasi adalah kekebasan kita dalam menyampaikan aspirasi namun yang harus dicatat bahwa kebebasan tersebut harus tetap mengikuti norma-norma yang berlaku, jangan sampai justru memecah belah bangsa.
Lunturnya Bhineka Tunggal Ika yang Berpengaruh terhadap Integritas bangsa, bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Sudah kita ketahui pula bahwa negara kita memiliki berbagai macam suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, agama, dan adat istiadat yang menjadi aset kebudayaan nasional.
Berbagai keberagaman unsur budaya tersebut tercantum dalam semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Semboyan Bhineka Tunggal Ika memiliki arti bahwa meskipun kita berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Tulisan semboyan ini terpampang jelas di bawah lambang negara kita burung Garuda. Dalam lambang Garuda, Bhineka Tunggal Ika berada dalam balutan pita yang dicengkram kaki burung Garuda.
Kesatuan dan Persatuan
Bhineka Tunggal Ika juga menggambarkan adanya kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Sejatinya Bhineka Tunggal Ika merupakan ideologi bangsa Indonesia yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia saja. Sebuah ideologi yang harusnya meningkatkan kecintaan masyarakat kepada bangsa Indonesia karena dengan semboyan itulah yang membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar. Namun sejak saat ini makna Bhineka Tunggal ika kian memudar. Hal itu dikuatkan dengan perlakuan yang menunjukkan bahwa Bhineka Tunggal Ika hanya sebatas wacana dan tidak dipratekkan.
Masyarakat kini cenderung egois, gengsi dan menganggap bahwa Bhineka Tunggal Ika hanyalah sebuah filsafat kuno. Mereka berpikir bahwa semboyan tersebut tidak mempunyai makna lagi dalam kehidupan yang kekinian dan modern, apalagi sekarang sudah jamannya globlalisasi.
Bila kita flasback kembali, sejak masa reformasi, Bhineka Tunggal Ika telah mengalami kemundurannya dan mulai memudar. Masa reformasi seharusnya membawa suatu perubahan menuju arah yang baik dan itu harus berjalan significan. Tetapi yang terjadi adalah reformasi yang tidak tau arah atau reformasi yang keblablasan. Kala itu sistem otonomi daerah yang berlaku disetiap daerah hanya membawa sistem reformsi yang tidak terkontrol dan tidal berjalan sesuai dengan harapan.
Bisa kita lihat juga bagaimana sikap dan perilaku pemuda Indonesia yang menjadi generasi penerus bangsa sekarang. Mereka kebanyakan tidak mengenal pentingnya memaknai semboyan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika. Adanya budaya barat yang masuk semakin deras di Indonesia secara langsung mengubah pola pikir dan pola tinggkah laku pemuda sekarang. Bahkan, tidak hanya pemuda saja yang terjerumus masuk pada budaya barat, tetapi semua elemen atau tingkatan masyarakat juga tidak luput dari pengaruhnya.
Sungguh ironi sekali Ideologi Bhineka Tunggal Ika dengan mudahnya terhapus oleh ideologi-ideologi barat yang kini kebanyakan menjadi konsumsi masyarakat Indonesia Apalagi hal tersebut diperparah dengan pernyataan-pernyataan yang menyebutkan bahwa Bhineka Tunggal Ika adalah kuno alias kampungan dan bukan menjadi suatu kebutuhan lagi bagi masyarakat Indonesia. Dengan bangganya masyarakat sekarang mencintai dan menggilai unsur-unsur budaya barat dan meningglkan unsur-unsur budaya asli bangsa Indonesia Bagi mereka Bhineka Tunggal Ika telah mati dalam jiwa dan raganya.
Teringat pula pada saat kehadiran Presiden Amerika, Barrack Obama, yang pernah menyinggung semboyan kita Bhineka Tunggal Ika dalam kuliah umum di Universitas Indonesia saat berkujung ke Indonesia. Dalam pidatonya, Obama secara terbuka mengakui belajar menghargai hubungan antar manusia dengan beragam latar belakang budaya ketika menetap di Indonesia. Menurutnya falsafah “Bhineka Tunggal Ika” yang mendasar dari munculnya semangat toleransi yang tertulis dalam konstitusi (UUD 1945) adalah contoh yang bisa diberikan kepada dunia, dan dengan nilai-nilai ini yang akan bisa membuat Indonesia berperan penting dalam abad ke-21.
Publik pun tersentak dibuatnya. Bahkan secara lugas Obama menyebut “Bhineka Tunggal Ika” sebanyak dua kali. Apalagi pidato tersebut dihadirkan di saat bersamaan dengan perayaan Hari Pahlawan. Tersadarkan bahwa sudah lama sekali kita tidak pernah mendengar Bhineka Tunggal Ika yang selama ini diagung-agungkan sebagai nilai mendasar yang menyatukan berbagai keberagaman, keunikan dan perbedaan di negeri ini.
Memang, telah menjadi fakta bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya Bhineka Tunggal Ika sudah tidak ada. Hal tersebut juga berpengaruh pada kekuatan integrasi bangsa Indonesia. Sekarang yang ada hanya peperangan antar suku, ketegangan-ketengan yang terjadi dalam masyarakat karena adanya diskriminasi ras yang sangat mencolok, etnosentrisme yang menguat, isu-isu kebenaran agama yang saling bergesekan, permasalahan SARA yang semakin membesar, terjadinya cultural lag, dan hingga identitas kebangsaan yang semakin luntur.
Oleh karena itu, jika kondisi seperti ini dibiarkan begitu saja, maka lambat laun, bangsa Indonesia akan hancur. Dimata dunia, bangsa Indonesia akan malu karena tidak dapat berpegang teguh pada pendiriannya. Penjajahan memang tidak terjadi secara fisik, namun penjajahan itu menyerang ideologi kita karena Bhineka Tunggal Ika dijadikan slogan yang hanya terucap di mulut saja.
Dalam praktek tumbuh dan berkembangnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang dijunjung tinggi dalam sebuah integrasi nasional Bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika juga turut andil dalam usaha tersebut, Sebuah rasa nasionalisme yang muncul atas rasa persamaan dan solidaritas tinggi akan berbagai macam perbedaan suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, agama, dan adat istiadat harusnya semakin memperkokoh integrasi nasional bangsa Indonesia. Namun, fakta sosial yang terjadi sekarang adalah berbeda.
Banyak sekali yang menjadi faktor - faktor penyebab makna Bhineka Tunggal Ika luntur dan berimbas pada renggangnya integrasi bangsa Indonesia. Beberapa faktor tersebut antara lain yaitu:
Perbedaan Kepentingan Masyarakat sehingga Mengakibatkan Gesekan-Gesekan Negatif dalam Masyarakat, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa faktor heterogenitas yang sangat mencolok. Hal tersebut terbukti dengan adanya strata sosial yang ada di masyarakat. Namun, pada era kini, strata sosial yang ada pada masyarakat Indonesia adalah terbuka. Pasalnya, kondisi tersebut juga diakibatkan oleh adanya era modern dan globalisasi yang memungkinkan setiap orang bebas bergerak untuk menentukan posisi suatu individu dalam masyarakat.
Kemampuan Sumber Daya Manusia bagi tiap individunya juga berbeda. Adanya keberagaman suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, dan agama turut mendorong suatu individu untuk mengelola suatu langkah dan tujuan hidup sesuai dengan yang mereka harapkan. Hingga akhirnya, kepentingan individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok menjadi berbeda. Lingkungan sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan juga menjadi salah satu faktor adanya perbedaan kepentingan dalam masyarakat.
Tak khayal, jika kepentingan yang berbeda mengakibatkan adanya gesekan-gesekan dalam masyarakat dikarenakan mereka semua selalu ingin mencari yang terbaik demi kebutuhan hidup mereka dan tidak terlepas dari kodrat manusia yang tidak pernah puas dalam memenuhi kebutuhan hidup. Gesekan-gesekan yang terjadi pada masyarakat menimbulkan suatu bentuk emosi atau kompetisi.
Terkadang cara dan bentuk kompetisi tersebut dilakukan dengan hal yang negatif, bisa juga dengan menghalalkan segala cara tanpa berpikir bahwa cara tersebut merugikan bagi orang lain atau tidak. Ditambah lagi semboyan Bhineka Tunggal Ika pun juga telah luput dalam pegangan atau acuan mereka dalam melaksanakan kompetisi. Kompetisi pun tidak sehat dan membuahkan kerancuan hidup sosial dalam masyarakat.
Isu-Isu Kebenaran Agama yang Bergesekan dalam Masyarakat, telah diketahui, bahwa agama yang diakui di Indonesia adalah 6 agama, yaitu: Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan Khong-huchu. Dalam kehidupan beragama, kita diajarkan tentang sesuatu yang diwajibakan untuk dilakukan dan tidak melakukan sesuatu hal yang dilarang oleh agama kita. Itu ditujukan agar kita bisa hidup selaras antara di dunia dan di akhirat. Kebenaran agama yang kita anut juga pasti berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan bunyi sila pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hidup bersama dengan masyarakat yang memiliki keberagaman agama hendaknya kita mengutamakan suatu toleransi dan rasa menghormati dan menghargai pada semua pemeluk agama. Semboyan kita lagi-lagi diacuhkan, makna berbeda-beda tetapi tetap satu hanya sepintas di mulut saja. Kini, antara kebenaran suatu agama A atau B mulai disinggung. Masyarakat justru sibuk dengan pemojokkan suatu kebenaran agama yang orang lain anut. Bisa dikatakan seperti “Agama yang saya anut adalah benar, dan agama yang kamu anut adalah salah”.
Selain itu, kondisi juga diperparah dengan adanya penciptaan agama baru yang tidak masuk akal. Contoh kasusnya adalah agama yang dibuat oleh Lia Eden. Dia menyebut dirinya sebagai anak Tuhan dan telah menerima beberapa wahyu yang paling benar dari Tuhan. Hingga akhirnya beliau ditangkap dan di tahan karena bukti bersalah menyebarkan agama palsu. Kemudian, masyarakat sekarang juga semakin memperparah keadaan, banyak diantara mereka yang melakukan tindak kekerasan, tindak kejahatan yang diatas namakan Tuhan. Suatu kekacauan dari yang seharusnya berbeda-beda tetapi tetap satu, namun kini berbeda-beda menghasilkan masalah.
Proses Pembangunan
Indonesia adalah negara yang berkembang. Negara yang sedang berada dalam proses pembangunan yang berkelanjutan ini ternyata juga menjadi salah satu faktor diskriminasi yang mengakibatkan ketimpangan sosial dari proses pembangunannya. Hal tersebut menjadi faktor lunturnya makna Bhineka Tunggal Ika juga.
Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi geografi yang terdapat pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (Development Region) dan wilayah terbelakang (Underdevelopment Region), Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah dan akhirnya masyarakat tidak bisa bersatu. Istilah “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” semakin menguat karena ketimpangan sosial ini. Perbedaan kelas pun semakin mencolok. Hingga mengakibatkan integrasi masyarakat berkurang antara satu sama lain.
Indonesia yang memiliki keberagaman suku, ras, budaya, dan adat istiadat yang disatukan dalam makna semboyan Bhineka Tunggal Ika.Tetapi ternyata juga masih saja dalam faktanya kita temukan beberapa penghambat rasa kesatuan itu, apalagi jika bukan adanya etnosentrisme. Etnosentrisme adalah kecenderungan memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri. Hingga akhirnya menilai budaya orang lain adalah budaya yang paling rendah martabatnya dibandingkan dengan budaya kita.
Ironi memang Budaya daerah yang menjadi aset dan unsur budaya nasional justru tidak dapat kita satukan dengan baik, Adanya rasa kecintaan yang berlebihan dengan budaya daerahnya justru menjadi kondisi yang memperparah makna dari Bhineka Tunggal Ika Selain itu fanatisme kedaerahan akan mengancam integrasi bangsa Indonesia dan keutuhan NKRI.
Cultural lag adalah bentuk kesenjangan budaya akibat masuknya unsur-unsur globalisasi yang terjadi secara tidak merata dan tidak serempak dan Unsur-unsur teknologi yang masuk secara cepat namun tidak diimbangi unsur-unsur sosial budaya yang lambat. Selain itu sekelompok masyarakat ada yang bisa menyerap dan menerima unsur-unsur globalisasi secara cepat bahkan ada yang cenderung lambat dan tertinggal Akibatnya perubahan unsur-unsur sosial budaya terjadi secara tidak serempak yang menimbulkan suatu kesenjangan sosial.
Berbicara mengenai hal-hal yang bersinggungan dengan SARA, melahirkan kecemasan tersendiri bagi masyarakat. Pasalnya hal tersebut menyangkut masalah suku, agama, ras, dan antar golongan. Suku, agama, ras dan antar golongan yang ada di bumi pertiwi ini adalah sebuah kekayaan. Kita menggunakan istilah filosofi dasar “Kamu adalah Aku yang lain”. “Saya ada karena kamu ada”. Filosofi sederhana ini menunjukkan bahwa kemajemukan yang ada di bumi Indonesia ini bukanlah sesuatu yang membahayakan dan meresahkan, Kehadiran kita hanya dapat diakui dengan adanya yang lain.
Fakta berkata lain justru kemajemukan itulah kini menimbulkan suatu perbedaan dan sama sekali tidak mencerminkan Bhineka Tunggal Ika Contoh kasusnya adalah Ketika urusan politik mulai menunggangi Agama, Ras, Suku, Golongan untuk mencapai tujuan politik, disitulah kesalahan fatal para pelaku politik yang tidak tahu berpolitik. Selain itu Ketika Agama memberi pencerahan, tapi melewati batas koridornya, misalnya mulai berlaku seolah-olah hakim atas seluruh permasalahan yang ada entah itu masalah politik, masalah pemerintahan dan masalah lain di luar koridornya, Agama sendiri pun membuat keresahan bagi penganutnya.
Bangsa Indonesia adalah memiliki paham nasionalisme (paham kebangsaan) yang menjadi suatu identitas bangsa. Namun kini telah hilang Misalnya saja kini keberadaan keberagaman bahasa daerah yang menjadi aset unsur-unsur budaya nasional kita ataupun bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pemersatu bangsa telah luntur. Bahasa Asing seperti bahasa Inggris atau Bahasa Korea telah menjamur di kalangan masyarakat. Justru dengan menggunakan bahasa asing masyarakat kini lebih bangga dan menganggap bahwa itu adalah suatu mode baru yang menjadi tuntutan agar tidak ketingggalan jaman.
Kemudian adanya budaya gotong-royong yang menjadi identitas bangsa Indonesia kini luntur dengan sendirinya. Bahkan di daerah-daerah pedesaan kita jarang menemui warga yang bergotong-royong. Masyarakat kini memang asik dengan dunia pekerjaan yang secara tidak langsung menjadikan mereka teraliniasi dengan lingkungannya, Saling menyapa pun jarang dilakukan karena kini meraka cenderung individualis.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, ras, kesenian, bahasa, agama dan adat istiadat yang menjadi aset kebudayaan nasional. Berbagai keberagaman unsur budaya tersebut tercantum dalam semboyan bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Keadaan tersebut menjadikan sebuah identitas atau jati diri bangsa Indonesia yang harus diwujudkan demi tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Dengan adanya keberagaman sebagai corak pluralitas, Bangsa Indonesia khususnya masayarakat harusnya menyadari dan menjadikan hal tersebut sebagai penguat dalam berkehidupan. Membina identitas bangsa yang berpedoman Bhineka Tunggal Ika juga memerlukan upaya yang berkesinambungan serta berkaitan dengan berbagai aspek.
Kedudukan seseorang sebagai warganegara Indonesia tidak mengenal diskriminasi, kehidupan bersama yang penuh toleransi dan menghindari berbagai perasaan curiga satu dengan yang lain atau tidak adanya trust di dalam kehidupan bersama, kemampuan dan keinginan untuk melihat perbedaan antar suku bukan sebagai hal yang memisahkan di dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari bahkan lebih mempererat dan memperjaya kehidupan dan kebudayaan nasional. Ini dikarenakan dalam era globalisasi sekarang ini setiap bangsa ingin menonjolkan identitas bangsanya agar lebih dikenal di mata dunia.
Selain itu adanya dukungan dari beberapa pihak seperti media masa, pendidikan di sektor formal maupun informal juga harus turut andil dalam menciptakan bibit-bibit generasi muda yang mencintai bangsanya. Janganlah sibuk untuk mencari alasan bagaimana makna Bhineka Tunggal Ika itu luncur atau pun musnah, apalagi adanya beberapa isu di berbagai media masa yang menghantam makna Bhineka Tunggal Ika yang kian hilang juga hendaknya ditekan. Yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan sebuah makna terpenting dari Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia, Jangan pula kita baru tersentak jika baru terkena musibah pengambilan budaya atau pengambilan unsur- unsur budaya yang dilakukan oleh negara lain terhadap Indonesia. Sudah seharusnya kuatkan benteng Bhineka Tunggal Ika agar terwujud integrasi bangsa Indonesia.
Nilai-Nilai
Sudah saatnya kita memaknai atau mentransformasikan kembali nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika berdasarkan kondisi kekinian, Jangan jadikan nilai-nilainya sebagai dogma atau doktrin kaku yang tidak bisa mengikuti perkembangan Jaman. Doktrinisasi nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika semata tanpa disertai praktek dalam kehidupan berbangsa jelas hanya akan menjadikannya sebagai nilai kuno semata. Bukan saatnya lagi Bhineka Tunggal Ika hanya dihadirkan sebatas simbol semata tanpa kita berusaha mengisinya dan memperkaya makna yang dikandungnya.
Seperti para pendiri negeri ini yang memperjuangkan Bhineka Tunggal Ika sehingga bisa mempersatukan seluruh anak negeri dari Sabang hingga Merauke, maka saatnya tugas kita untuk terus memperjuangkan agar Bhineka Tunggal Ika tetap bertahan dan menyatukan keberagaman dan perbedaan yang semakin dinamis. Semoga kita terhindar dari situasi kegagalan dimana generasi mendatang hanya bisa berucap bahwa negara kita dahulu pernah punya falsafah Bhineka Tunggal Ika
Selain itu gagasan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan tak bermakna akan tetapi menjadi harta yang harus dirawat bersama. Inilah inti demokrasi dalam sebuah bangsa yang heterogen. Bila modal bersama ini dipelihara dengan baik dan dikelola oleh sebuah kepemimpinan yang bersih dan bijak, bangsa ini akan survive menghadapi tantangan apapun.*
*Disampaikan dalam kuliah umum IAIN Fattahul Muluk Papua Buper Waena Distrik Heram, Sabtu (26/9)