Oleh :Peter Tukan*
“ET IN TERRA Pax Hominibus Bone Voluntatis – Dan Damai di Bumi bagi Orang-orang yang Berkehendak Baik”. Orang yang berkehendak baik memiliki kedamaian di dalam dirinya.
Kelihatannya, kita masih harus menempuh perjalanan panjang dan berlika-liku untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan kronis di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua. Benang-benang perdamaian yang sudah lama terkoyak itu, harus dapat segera ditenun ulang atau dijahit kembali oleh semua orang yang mencintai perdamaian dan yang berkehendak baik untuk kesejahteraan rakyat (bonum commune).
Apabila kita semua sepakat bahwa “Salus Populi Suprema Lex” (Kesejahteraan Rakyat adalah Hukum Tertinggi) maka Kehendak Baik merupakan “pedoman awal ” dari seluruh proses perjalanan penyelesaian masalah kemanusiaan yang kronis ini.
Pada Jumat (11/9), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Nduga menyerahkan kepada DPR Papua (DPRP) laporan tertulis dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), masalah pengungsian dan operasi militer yang terjadi selama dua tahun (2018-2020) di wilayah itu.
Berkas laporan itu diserahkan Ketua DPRD Kabupaten Nduga, Ikabus Gwijangge didampingi Wakil Ketua I DPRD Nduga, Alimi Gwijangge dan anggota wakil rakyat lainnya. Di DPRP, laporan tersebut diterima Ketua I DPRP, Yunus Wonda dan Wakil Ketua II, Eduard Kaize. Laporan yang sama dikirim juga kepada Majelis Rakyat Papua (MRP), Polda Papua, Kodam XVII/Cenderawasih, Komnas HAM Perwakilan Majelis Papua dan mungkin juga kepada pihak-pihak lainnya.
Ketua DPRD Nduga, Ikabus Gwijangge mengatakan, pengungsi masyarakat Nduga masih ada sampai hari ini mulai dari tahun 2018 hingga 2020. Berkas laporan itu tidak hanya membeberkan soal pengungsi tetapi juga dugaan pelanggaran HAM dan operasi militer di wilayah itu.
“Kalau pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak mendengarkan apa yang kami sampaikan, lantas siapa yang akan mendengarkan kami,” tanya Ikabus (Harian Cepos, Sabtu, 12/9 Hal.13).
Sementara itu, Wakil Ketua I DPRD Nduga, Alimi Gwijangge meminta agar pasukan militer – non organik yang saat ini beroperasi di Kabupaten Nduga, ditarik keluar dari wilayah konflik itu.
“Kami meminta Presiden RI untuk menarik kembali pasukan non-organik yang ada di Kabupaten Nduga,” kata Alimi.
Alimi juga berharap, Komnas HAM Papua dan Polda Papua, segera melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) terkait dua orang warga sipil yang belum lama ini ditembak militer di ibukota Kabupaten Nduga.
Penyerahan laporan dari pihak DPRD Kabupaten Nduga kepada DPRP, Komnas HAM, Polda Papua, Kodam XVII/Cenderawasih dan lembaga-lembaga lainnya itu, patut kita hargai dan pada tempatnyalah kita mengacungkan jempol – tanda pujian yang wajar lantaran tindakan menyerahkan laporan tersebut merupakan bukti nyata adanya “Kehendak Baik” para wakil rakyat itu untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan di Nduga. Para wakil rakyat ini sangat menyadari bahwa kedamaian hidup dan kesejahteraan bersama, merupakan hukum tertinggi dalam hidup bersama di muka bumi ini.
Kehendak Baik saja belum cukup
Kehendak baik adalah titik awal yang baik namun, kehendak baik saja, belumlah cukup! Begitu pula, dengan hanya menyerahkan laporan berbagai dugaan pelanggaran HAM dan kekerasan bersenjata dan kekerasan lainnya pun belumlah cukup untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan ini, sementara kita tahu bersama bahwa kelompok yang paling menderita akibat tragedi ini adalah rakyat kecil tidak berdosa, terutama anak-anak, kaum perempuan, orang sakit dan mereka yang sudah uzur. Di sinilah pepatah tua menjadi benar: “Gajah berjuang sama gajah, pelantuk mati di tengah-tengah”. Begitu pula, tragedi kekerasan ini, cepat atau lambat akan menghancurkan kita semua tanpa kecuali. ”Kalah jadi abu, menang jadi arang”.
Sama seperti harapan para wakil rakyat di DPRD Nduga, pasti telah banyak pihak, baik di Papua, maupun di wilayah lain di luar Papua bahkan sampai Luar Negeri menginginkan hal yang sama yaitu semoga badai ini cepat berlalu - tragedi kemanusiaan ini kiranya cepat berakhir melalui langkah-langkah nyata untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM, melakukan olah TKP oleh polisi, penarikan aparat keamanan non-organik dari wilayah Nduga, serta pengembalian pengungsi ke rumahnya masing-masing seperti sebelum terjadi tragedi kemanusiaan ini.
Jika kita mencermati secara teliti laporan DPRD Nduga itu, maka ternyata berbagai usul-saran yang disampaikan para wakil rakyat Nduga itu sebenarnya bukanlah merupakan sebuah laporan yang samasekali baru, malahan telah berulang kali disuarakan oleh banyak pihak, bukan hanya DPRD Nduga.
Pihak keamanan sendiri (baik TNI maupun Polri) serta pihak-pihak lainnya di mana saja mereka berada, sebenarnya telah pula mengetahui usul-saran tersebut yang bertujuan agar segera tercipta rasa aman, tenteram dan sejahtera bagi rakyat di Kabupaten Nduga. Namun, kesannya adalah semua usul-saran tersebut berlalu begitu saja bagaikan hembusan angin silih berganti. Dari hari ke hari, persoalan kemanusiaan di Nduga belum tuntas diselesaikan. Terkesan, “berjalan di tempat” atau malahan semakin tidak jelas arah rimbanya.
Nah, pada titik inilah kita semua harus berhenti sejenak! Kita duduk dengan tenang dan dengan Hati yang jernih merenungkan pertanyaan cerdas ini: ”Mengapa sampai sekarang persoalan kemanusiaan ini belum juga terselesaikan? Dari titik pijak (titik berangkat) mana kita memulai berproses untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan yang kronis ini?
Fakta hari ini menyatakan bahwa telah banyak pihak berkeinginan kuat untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan itu melalui tindakan nyata, seperti, melakukan olah TKP, menarik pasukan non-organik, mengembalikan pengungsi ke kampung halamannya masing-masing, menegakkan HAM dan sebagainya.
Namun, terkait keinginan agar pasukan TNI non-organik ditarik keluar dari wilayah Nduga, pihak keamanan sendiri hingga hari ini belum ingin melakukan penarikan pasukan non-organik itu. Mengapa? Mungkin, alasannya, adalah keberadaan pasukan TNI non-organik di Nduga; (juga permasalahan lainnya seperti: pengungsi dan berbagai dugaan tindakan kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM), bukanlah “pemicu” atau penyebab awal dari tragedi kemanusiaan di Nduga.
Mereka melihat bahwa masalah pengungsi dan berbagai masalah lainnya itu, sebenarnya merupakan akibat lanjut atau dampak lanjutan dari tindakan kekerasan sebelumnya - yang sudah lebih dahulu terjadi.
Oleh karena itu, aparat keamanan TNI-Polri menginginkan agar penyelesaian tragedi kemanusiaan Nduga seharusnya dimulai dari menelusuri dulu cikal-bakal, atau riwayat awal terjadinya tragedi kekerasan tersebut. Cikal bakal ini harus dituntaskan lebih dahulu, barulah disusul penarikan pasukan non-organik secara bertahap; pemulangan pengungsi ke kampung halaman masing-masing dan penyelesaian persoalan lainnya yang sudah disebutkan di atas.
Ketika pihak-pihak tertentu meminta agar tragedi pengungsian, kasus-kasus kekerasan dan dampak dari semuanya itu segera diselesaikan, ternyata pihak aparat keamanan tidak bergeming, mereka terlihat konsisten (kekeh) menginginkan agar kasus kekerasan di Nduga itu harus diselesaikan mulai dari titik cikal-bakal atau sejarah awal terjadinya kekerasan itu sendiri.
Pihak keamanan TNI dan aparat penegak hukum Polisi ingin agar semua pihak kembali dulu kepada “pemicu awal” terjadinya kasus ini. Bagi aparat keamanan, hal yang menjadi “pemicu awal” itu adalah tragedi kekerasan yang menimpa para pekerja proyek PT Istaka Karya yang mengerjakan proyek jalan raya di wilayah Nduga. Polisi dan Tentara sepertinya ingin menyelesaikan dulu “pemicu awal” itu antara lain meminta pertanggungjawaban para pelaku kekerasan yang menewaskan 31 pekerja bangunan jembatan di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi.
“Peristiwa berdarah terjadi di Nduga, Papua, pada hari Minggu (2/12/2018). Sebanyak 31 pekerja bangunan jembatan di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, tewas diduga diberondong oleh Kelompok Kriminal Bersenjata ( KKB). Tiga puluh satu pekerja dari perusahaan PT Istaka Karya, tewas. Jenazah para korban hingga saat ini belum dapat dievakuasi karena sulitnya medan,” tulis Kompas.Com (Senin,3/11 2018).
Kesan kuat adalah, selama pemicu awal kekerasan di Nduga itu belum diselesaikan sesuai hukum positif yang berlaku maka selama itu pula kasus pengungsian sulit terselesaikan, begitu pula keinginan dan usulan penarikan pasukan TNI non-organik keluar dari Nduga pun masih sulit terpenuhi.
Pada lain pihak, akibat lanjut dari semuanya ini adalah terjadinya kekerasan beruntun di Nduga, rakyat Nduga terus berada di pengungsian, terganggunya proses belajar-mengajar di sekolah, hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak tidak terpenuh, ketidaklancaran jalannya pembangunan wilayah Nduga, serta kesulitan warga setempat mendapatkan pelayanan kesehatan dan kebutuhan hidup sehati-hari.
Pertanyaan penting di sini adalah: Dari mana kita harus memulai? Apakah terlebih dahulu meminta pertanggungjawaban pelaku tindakan kekerasan terhadap pekerja proyek jalan raya PT Istaka Karya, ataukah dilakukan dulu penarikan pasukan TNI non-organik dan pengembalian pengungsi ke rumah dan kampung halaman mereka masing-masing?
Realitas membuktikan bahwa selama ini, kita sepertinya “berjalan di tempat” – kita hanya berkutat dengan dua pertanyaan penting ini tanpa ada kemajuan berarti, sementara itu, rakyat kecil-tak berdosa terus menderita dari hari ke hari tanpa suatu “hari esok yang ceriah-penuh harapan”!
Sungguh benar kata banyak orang, menuntaskan kasus kemanusiaan Nduga, tidak semudah “membalikkan telapak tangan” dan bukanlah “tiba hari – tiba akal” dan bukan pula “malam hari bermimpi indah – bangun pagi semua mimpi indah itu sudah ada di depan mata”.
Titik Temu: Bertemu, Berdiskusi dan Berdialog
Pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab di atas harus dicari jawabannya yang tepat, cepat dan tuntas! Kita harus dapat segera mencari titik temunya.Titik temu itu adalah: dengan bermodalkan “Kehendak Baik” semua kelompok atau institusi yang berkepentingan dengan kasus Nduga itu bertemu dalam suasana persaudaraan sejati, berdialog dari Hati ke Hati! Bermusyawarah penuh hikmat kebijaksanaan. Pada titik inilah, dituntut sikap demokratis, kebesaran jiwa – berlapang dada untuk mulai berbicara, berdialog, berdiskusi dari Hati ke Hati! Tanpa sikap demokratis dari semua pihak, maka tragedi kemanusiaan Nduga akan sangat sulit terselesaikan.
Tentang sikap demokratis itu sendiri, Dr.Ignas Kleden menulis: ”Sikap demokratis adalah hal yang semakin dibutuhkan pada masa sekarang, bukan saja sebagai suatu sikap politik, tetapi terlebih-lebih sebagai suatu sikap budaya. Persyaratan minimum untuk berkembangnya sikap demokratis antara lain, menolak semua bentuk penyelesaian konflik dan masalah dengan menggunakan kekerasan atau pun dengan pemaksaan kehendak. Yang dianjurkan ialah penyelesaian melalui diskusi, persuasi dan negosiasi” ( Dr Ignas Kleden dalam “Pergeseran Nilai-Nilai Dalam Era Globalisasi dan Sikap Kita Terhadapnya, Pacet-Sindanglaya, 23 Februari 1999).
Dari pendapat Dr Ignas Kleden di atas, kita lantas kembali kepada kasus Nduga, bahwa tragedi kemanusiaan yang kronis ini dapat berangsur-angsur berakhir dan kesejahteraan rakyat yang telah terkoyak itu dapat dipulihkan kembali, apabila ada kesediaan Hati dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk bertemu, berdiskusi dan berdialog dalam suasana persaudaraan sejati dengan pemahaman bersama bahwa tidak ada masalah di dunia ini yang tidak dapat diselesaikan, kecuali semua manusia di dunia ini sudah punah.
Jangan hanya menulis dan menyerahkan laporan, tetapi harus diikuti dengan tindakan bertemu muka dengan muka, berjumpa secara fisik, jangan ambil jarak yang jauh – rapatkan diri, bergandengan tangan sebagai Saudara dan Sahabat untuk berjalan bersama menuju satu tujuan bersama yakni : Damai di Tanah Papua! Damai adalah kerinduan semua anak manusia di muka Bumi ini!
Terkait kerinduan semua orang akan perdamaian itu, para Uskup Gereja Katolik se-Tanah Papua menulis”
“Dalam masyarakat kita, hidup bermacam-macam agama, suku, golongan dan aliran politik, masing-masing dengan visinya mengenai kehidupan. Namun, ada titik temu yang sama: Semua merindukan damai, semua mau hidup dalam damai. Dan semua dipanggil untuk membangun kerukunan serta hubungan yang harmonis dengan semua komponen dalam masyarakat. Kita tahu ada banyak perbedaan di antara kita. Perbedaan-perbedaan itu tidak perlu dijadikan alasan untuk permusuhan dan konflik antarkita. Kita dipanggil untuk membangun sikap dan langkah positif dengan menjalin hubungan persahabatan,” tulis Para Uskup Gereja Katolik se-Tanah Papua” (Baca: “Dalam Terang Iman Marilah Membangun Papua Yang Damai dan Sejahtera”, Surat Edaran Para Uskup Gereja Katolik di Tanah Papua, Jayapura, 8 Agustus 2018).
Lebih lanjut para Uskup menulis:”Segala bentuk perseteruan, konflik dan perang adalah “tembok-tembok pemisah” yang harus dirubuhkan. Segala senjata perang, pedang, tombak dan panah harus ditempa menjadi mata bajak dan alat pertanian yang menopang damai sejahtera (Lih. Yes 2:4).
Gagasan sederhana
Kembali ke Laporan DPRD Kabupaten Nduga tentang tragedi kemanusiaan di Nduga yang diberikan kepada berbagai pihak seperti DPRP, Komnas HAM Perwakilan Papua, Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih pada Jumat (11/9) itu, kita sendiri telah mengetahui bersama bahwa para wakil rakyat Nduga telah memiliki “Niat Baik” untuk menuntaskan permasalahan yang kronis tersebut dan hal ini patut mendapat dukungan dari semua pihak.
Namun, agar niat baik tersebut ke depannya lebih lengkap dan sempurna lagi, maka dengan rendah hati – penulis memohon ijin untuk memberikan beberapa gagasan sederhana yang mungkin saja bermanfaat untuk kita semua walaupun Penulis sendiri belum langsung membaca dokumen laporan tersebut:
- DPRD Kabupaten Nduga telah terbukti memiliki niat baik untuk menuntaskan tragedi kemanusiaan Nduga dengan membuat dan menyerahkan laporan tentang permasalahan di daerahnya, namun kiranya laporan itu dilengkapi lagi dengan penyampaian langkah-langkah nyata apa yang sudah dan sedang mereka lakukan sebagai wakil rakyat (legislatif) bersama-sama dengan pemerintah (eksekutif) setempat dan seluruh rakyat di Nduga, agar permasalahan pengungsian segera berakhir dan semua tindakan kekerasan pun secepatnya disudahi sehingga roda perekonomian, pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur di wilayah ini dapat berputar kembali secara normal dan lebih lancar lagi seperti sedia kala.
- Kadang terjadi, ketika kita memberikan sebuah laporan tentang permasalahan di daerah kelahiran kita atau di tempat kita bertugas, penerima laporan itu akan memberikan pertanyaan sangat sederhana dan sering mengejutkan nurani kita sendiri yakni:”Saudaraku, laporanmu sudah kami terima, namun apa yang sudah kamu lakukan atau kerjakan agar permasalahan yang disampaikan dalam laporan ini segera pula berakhir atau tidak menimbulkan masalah baru?
- Melaporkan saja, belum cukup! Laporan itu menjadi lebih sempurna jika dalam laporan itu disampaikan juga tindakan apa yang sudah dilakukan, kendala atau tantangan serta kesulitan apa yang dihadapi, serta bagaimana cara mengatasi kendala itu. Begitu pula, keberhasilan dan/atau kegagalan apa yang diperoleh dari tindakan nyata yang sudah kita lakukan itu, serta apa yang harus atau dapat dibantu dari pihak lain termasuk pihak yang menerima laporan ini? Hal ini penting dilakukan sebelum kita melihat sendiri tindakan atau langkah nyata apa yang harus dilakukan oleh orang atau lembaga lain yang kita laporkan atau orang atau lembaga yang menerima laporan dari kita.
Kesimpulan sementara menjadi jelas yaitu bahwa kita sendiri harus lebih dahulu “memiliki sesuatu” dan berbuat/bertindak sesuatu walaupun sederhana dan belum sempurna untuk mencapai perdamaian di Nduga.
Tindakan nyata yang kecil dan sederhana sekalipun untuk perdamaian dan kesejahteraan rakyat di Nduga, sudah merupakan bukti nyata bahwa kita sendiri telah memiliki “Kehendak Baik dan Tulus” untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan hidup bersama dalam masyarakat kita sendiri.
Camkanlah, seseorang yang hidupnya damai tercermin dari karakternya yang tenang, berpikiran terbuka, tidak mudah mengahakimi, tidak mengutuk keadaan serta tidak menyumpahi saudara-saudara dan sahabat kita sendiri!
Et In Terra Pax Hominibus Bone Voluntatis!
- Peter Tukan: mantan wartawan