SANG INSPIRATOR atau penggagas lahirnya Festival Danau Sentani – sebuah pesta budaya akbar tahunan masyarakat adat Kabupaten Jayapura, Papua yang digelar di Danau Sentani yakni Bapak, Opa, Saudara, Sahabat, Paman, rekan seperjuangan yang kita cintai dan kasihi: Habel Melkias Suwae telah beristirahat dalam damai di rumah Sang Pemberi Kehidupan - Sorga Abadi. Bapak Habel yang sering disapa dengan panggilan akrab “Kaka Besar HMS” sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya pada Kamis (3/9).
Berbicara, berbincang-bincang dan berdiskusi tentang Festival Danau Sentani (FDS) tidak terlepas dari peran utama Sang Inspirator kita ini. Dialah penggagasnya, dialah pionernya dan dia pulalah yang telah memulai langkah awal dan kini disusul sejuta langkah lanjutan oleh para penggantinya serta generasi milenial abad ini.
“Saya dipercayakan oleh rakyat Kabupaten Jayapura untuk memangku jabatan Bupati Kabupaten Jayapura sejak tahun 2001 hingga 2011. Pada periode pertama kepemimpinan saya sebagai Bupati atau lima tahun pertama 2001-2006, saya merenungkan dengan sungguh-sungguh tentang alam dan budaya Papua yang sangat indah dan kaya-raya ini. Lima tahun pertama itu adalah lima tahun untuk bergulat mendapatkan inspirasi baru. Pada awal lima tahun berikutnya 2006-2011, khususnya pada awal 2006, saya mulai mengajak semua komponen masyarakat Kabupaten Jayapura untuk bersama-sama kita melestarikan nilai-nilai budaya Papua khususnya nilai budaya masyarakat adat Kabupaten Jayapura melalui sebuah Pesta Budaya akbar Danau Sentani dan pada tahun 2007, FDS perdana digelar,” kata Kaka Besar HMS saat mulai digelarnya FDS pertama tahun 2007.
Pesta budaya tahunan ini kini berpusat di Danau Sentani yang luasnya sekitar 9.360 hektare dan berada di ketinggian 75 meter dpl.
Menurut Kaka Besar HMS, dirinya di hadapan para pemangku adat Kabupaten Sentani secara terbuka menyampaikan gagasan cemerlangnya dimana FDS bertujuan menggugah kesadaran pemerintah dan segenap komponen masyarakat Jayapura dan papua pada umumnya agar tetap melestarikan nilai-nilai seni dan budaya daerahnya.
“Kita ingin agar FDS ini pun dapat melestarikan dan mengembangkan nilai seni budaya dan kreativitas masyarakat sekitar Danau Sentani. Juga untuk memelihara persatuan dan kesatuan di antara sesama suku, ras dan agama. FDS juga merupakan ajang mempromosikan tempat wisata berbasis kekayaan alam dan budaya masyarakat adat Kabupaten Jayapura,” kenang Habel Melkias Suwae saat diwawancarai wartawan ANTARA tahun 2010 lalu.
Habel mengakui bahwa gagasannnya yang sederhana namun berdaya jangkau ke masa depan ini diterima oleh para tetua adat, masyarakat adat setempat dan semua masyarakat asal luar Papua yang telah beranak-pinak hidup dan berkarya di Kabupaten Jayapura. Masyarakat “perantau” yang datang dari Nusa tenggara Timur, Sulawesi, Jawa, Sumatera, Maluku dan pulau-pulau lainnya di Nusantara ini secara spontan mendukung dirinya untuk mulai bergerak mempersiapkan pesta budaya akbar Danau Sentani.
“Gagasan baik dan bedaya jangkau ke masa depan selalu didukung banyak orang. Ternyata, saya tidak berjalan sendirian. Saya ada bersama orang lain dan itulah kekuatan saya dalam memimpin rakyat di Kabupaten Jayapura ini,” kenang Habel Melkias Suwae.
Habel sendiri mengakui bahwa dari FDS pertama tahun 2007 dan seterusnya, selalu ada perkembangan yang sangat bagus dan menyenangkan. Kekurangan yang satu dengan yang lain, senantiasa diperbaiki dan disempurnahkan pada festival berikutnya pada tahun-tahun yang menyusuli.
Habel sendiri mengatakan, dari semua pesta budaya Sentani yang digelar setiap tahun itu, dirinya terkenang pada FDS tahun 2010 dimana pesta budaya akbar tahun itu, telah menjadi ajang perjumpaan para tokoh adat dan pemuka agama-agama di Tanah Papua. FDS 2010 menghadirkan semua peuka agama dari semua agama yang diakui di Tanah Air Indonesia ini.
“Ketika itu, hadir pula Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Monsinyur Leopoldo Girelli dan semua pemimpin agama di Provinsi Papua. Pada waktu itu digelar acara penanaman Pohon Perdamaian di lokasi FDS Khalkote oleh setiap pemimpin agama,” kata Habel Melkias Suwae.
Warna, rasa dan aroma FDS Tahun 2010 saat itu adalah “Kerukunan antarumat beragama dan persatuan masyarakat adat Papua yang kaya akan nilai-nilai budayanya”. Inilah momen pesta budaya yang tidak pernah terlupakan dalam ziarah kehidupan seorang “Kaka Besar” Habel Melkias Suwae.
Habel berpendapat, dengan adanya FDS yang digelar setiap tahun yang telah pula masuk ke dalam Kalender Pariwisata Nasional itu maka secara tidak langsung akan bergeliat roda perekonomian rakyat kecil sekaligus meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara (Wisman) dan wisatawan domestik (Wisnu) ke destinasi Danau Sentani.
Pada setiap FDS, terlihat banyak wisatawan berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Bandar Udara Sentani dipadati Wisman dan Wisnu. Mereka ingin menyaksikan berbagai pertunjukan seni di arena FDS itu seperti tarian adat di atas perahu yang mengarungi danau Sentani, berbagai tarian khas Papua, upacara adat Ondoafi (Kepala adat). Para pengunjung FDS pun ingin menikmati berbagai sajian khas Papua, pameran seni dan berbagai hasil kerajinan khas Papua.
“FDS merupakan momentum pemeliharaan dan pelestarian semangat persatuan dan kesatuan di antara sesama suku, agama dan ras,” tegas Habel Melkias Suwae.
Pada FDS selanjutnya, Pemerintah Kabupaten Jayapura juga mengikutsertakan PT Freeport Indonesia (PTFI) – sebuah perusahaan tambang mineral terkemuka di Dunia untuk ambil bagian secara aktif selama berlangsung pesta budaya ini. Pernah, PTFI mengutus sebuah Tim Kesenian masyarakat adat Kamoro ke arena FDS. Terlihat Tim tari masyarakat adat Suku Kamoro dan Tim Seni Pahat Suku Kamoro.
“Hal ini membuktikan bahwa Freeport Indonesia, hadir di Tanah Papua bukan hanya untuk menambang mineral tembaga, perak dan emas tetapi juga melakukan pendampingan dan pelestarian budaya masyarakat pemilik hak ulayat areal tambang di wilayah Kabupaten Mimika. Inilah satu kelebihan Freeport. Freeport tidak hanya peduli pada pelestarian lingkungan tetapi juga tidak melupakan pelestarian budaya suku-suku asli di Tanah Papua. Kita patut memberikan apresiasi yang sewajarnya kepada Freeport. Dalam kehidupan ini, sangat sering orang melupakan kebaikan orang lain sebaliknya, lebih sering mengingat dan mengungkit kekurangan orang lain dan mempermasalahkan kekurangan itu. Kita sering lebih suka memberikan kritik destruktif dan jarang atau kurang sekali memberikan kritik konstruktif. Kita sering hanya mengritik tetapi tidak memberikan jalan keluarnya atau solusi” tegas Habel.
Dari gagasan melahirkan FDS dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika itulah maka ketika Habel akan menyelesaikan tugas akhirnya guna memperoleh gelar akademis Doktor untuk Program Studi Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, dia menulis disertasinya dengan topik : “Identitas Cair Papua” dengan diberi Kata Pengantar oleh Prof.Dr.Heru Nugroho yang telah diterbitkan dalam bentuk Buku oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
“Buku ini membahas Identitas ke-Papua-an yang diletakkan dalam konteks ke-Indonesia-an, pergulatan dan dinamikanya telah menjadi acuan sejarah pembentukannya sejak Papua bergabung dengan Indonesia. Pada awal proses pembentukan itu, identitas ke-Papua-an dikonstruksikan oleh narasi dominan, baik pada masa pemerintahan Soekarno maupun pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto,” tulis Prof.Dr.Heru Nugroho dalam Pengantar buku ini.
Heru mengatakan, sebagai sebuah hasil riset, diharapkan buku ini dapat menambah referensi para pengambil kebijakan, akademisi dan pemerhati Papua dalam “mengontruksikan” Papua dulu, kini, dan masa datang. Semoga buku ini mampu menstimulasikan inovasi dan kreativitas baru serta analisis kritis untuk tidak lagi melihat Papua dan identitas ke-Papua-an secara sempit dan terbatas.
Secara khusus tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua, Habel dalam bukunya ini pada halaman 84-85 menulis: ”Ada tiga unsur utama yang terkandung dalam Undang-Undang Otsus, yaitu segalanya harus ada keberpihakan terhadap orang asli Papua, perlindungan terhadap orang asli Papua, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua. Konkretnya, setiap keberhasilan pembangunan Papua harus diukur dari tiga unsur tersebut,” tulis Habel Melkias Suwae.
Habel lahir di kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Tanah Papua pada 28 Mei 1952. Sang istri terkasi, Kostafina Bonay telah pergi mendahuluinya ke Sorga Abadi pada beberapa tahun yang lalu. Dari perkawinan itu, mereka berdua (Habel dan Kostafina) , dikaruniai lima orang anaknya: Hems Lisye, Lodwik, Yeheskiel, Billy dan Inyo.
Semasa menjabat sebagai Bupati Kabupaten Jayapura dua periode ini 2001-2011,Habel juga dikenal sebagai seorang penggagas atau pencetus sekaligus tokoh terdepan dalam program “Pemberdayaan Masyarakat Distrik dan Kampung”.
Salah seorang yang sangat mengenalnya dan ikut mendampinginya selama Habel menjabat sebagai Bupati Kabupaten Jayapura adalah Prof. Dr.W.I.M.Poli – seorang Profesor bidang Ekonomi di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Menurut catatan Bapak Poli, Habel adalah pemilik gagasan “Pemberdayaan Masyarakat” yang dicetuskannya sejak akhir tahun 2001 ketika Habel menduduki jabatan Bupati jayapura. Selamat Jalan Kaka Besar HMS ke Sorga Abadi. Beristirahatlah Dalam Damai – RIP!
Gajah mati meninggalkan gading – Kaka HMS pergi untuk selamanya meninggalkan keharuman nama dan teladan kemanusiaan.
*Peter Tukan: mantan wartawan ANTARA.