LIMA puluh delapan tahun lalu (15 Agustus 1962-15 Agustus 2020), tepatnya pada tanggal 15 Agustus Tahun 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Perundingan yang diprakarsai oleh PBB itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann.
Salah satu Hasil dari perundingan tersebut antara lain, Indonesia dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat, kini dikenal Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, untuk mengambil keputusan secara bebas melalui Musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat sebelum akhir tahun 1969.
Praktik musyawarah mufakat sebagai jalan konsolidasi sikap dan aspirasi, namun dibawah kendali badan PBB, hanya terjadi di Tanah Papua bagian Barat, hal itu tidak ada di daerah lainnya di Indonesia.
Jalan Panjang
Perjanjian Indonesia dan Belanda itu, sebagai akhir dari polemik dan konfrontasi dua negara tersebut di bumi Papua bagian barat. Momentum tersebut juga sebagai awal dari meniadakan praktik klaim sepihak, konfrontasi militer dan pendudukan sepihak, yang terjadi sebelumnya.
Sebagaimana dirangkum dari berbagai sumber, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda yang saat itu menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu propinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. oleh karena itu, pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Misi Belanda tersebut ditentang oleh negara Indonesia yang juga bekas jajahan Belanda.
Lobi dan diplomasi pun gencar dilakukan. Diawali Perjanian Linggar Jati di Jawa Barat 15 November 1946, disanalah untuk pertama kali utusan Belanda yang ikut memuetujui seluruh bekas jajahan Hindia Belanda otomatis bagian dari Negara Indonesia, termasuk Papua. Khusus soal Papua dibicarakan lagi pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Piagam tersebut makin mempertajam klaim dua pihak saat itu. Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, maka Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini. Sebagai kelanjutannya, pada tahun 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah.
Pihak Belanda pun gencar melakukan misi pemerintahan dan misi kemandirian Papua. Berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya adalah 26 orang wakil yang terbagi atas: 16 laki-laki dipilih, 23 orang Papua asli laki-laki, dan 1 wanita.
Dewan Papua ini dilantik oleh gubernur Pieter J. Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961. Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda, dan Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak untuk hadir. Kemudian, Dewan Papua mengadakan pertemuan pada tanggal 19 Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua, lambang negara, lagu kebangsaan ("Hai Tanahkoe Papua") dan nama Papua. Pada tanggal 31 Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan diserahkan kepada gubernur Pieter J. Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961.
Melihat gerak gerik Belanda tersebut, seakan tidak mengakui pembentukan provinsi Irian Barat yang telah ditetapkan. Maka pada ada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapi pembentukan Dewan Papua ini dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta yang isinya adalah: Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat. Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air bangsa. Sejalan dengan ketegasan pemerintah Indonesia untuk merebut wilayah Irian Barat dari penjajah Belanda, unsur-unsur kekuatan militer Belanda di Irian Barat bertambah dengan pesat.
Pada tanggal 1 Mei 1963, badan PBB di Papua sebagaimana hasil kesepakatan New York Agreement, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada Indonesia. Ibu kota Hollandia dinamai Kota Baru dan pada 5 September 1963, Papua Barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua sampai saat ini.
Musyawarah Mufakat untuk Rakyat Papua
Dari beberapa rangkuman berbagai sumber sebelumnya, jelas bahwa praktik konfrontasi, diplomasi, agresi militer, klaim mengklaim, terjadi antara Belanda da Indonesia. Bukan antara Belanda dengan Papua atau sebaliknya, Indonesia dengan Papua. Pemerintah Belanda tidak kase kemerdekaan kepada Indonesia selama ratusan tahun menjajah di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan lainnya. Karena BPUPKI disiapkan oleh Jepang, bukan Belanda. Tapi, Belanda yang terdesak di Papua lalu membentuk Dewan Papua dan mempersiapkan kemerdekaan dan mengakui kemerdekaan untuk negeri cenderawasih bagian barat itu.
Foto: Arkilaus Baho/Istimewa
Jalan Musyawarah mufakat, sebagai ruang berkonsolidasi rakyat saat itu untuk menentukan sikap. Penentuan pendapat rakyat (pepera) tahun 1969, salah satu klausul pada perjanjian di PBB itu, alat dimana tidak ada lagi klaim sepihak, konfrontasi, agresi dan saling serang, tapi nuansa konsolidasi khusus rakyat Papua, bukan belanda dengan Indonesia lagi yang baku hantam. Sebagaimana resolusi Majelis Umum PBB nomor 2504, 1.026 orang wakil ikut pepera, dari 700 ribu penduduk saat itu, yang isinya jalan integrasi sebagai pilihan atau hasil dari musyawarah mufakat saat itu.
Ingat, melalui musyawarah mufakat, polemik tentang Papua saat itu berakhir. Tidak ada lagi klaim mengklaim antar dua negara berdaulat. Tapi, kini prinsip konsolidasi sebagai ikon pepera malah hilang makna. Bahkan, kebijakan negara selama integrasi pun cenderung mengabaikan prinsip musyawarah mufakat.
Dulu, Belanda baku klaim dengan Indonesia atas Papua, kini, Provinsi Papua dan Papua Barat itu bukan lagi pakai klaim tapi dikapling oleh kekuatan kapitalis yang ugal-ugalan, merampas tanah rakyat setempat seluas luasnya, semaunya, demi eksploitasi yang maha kuasa. Bukan lagi musyawarah mufakat dalam menentukan sikap dan pilihan, tapi bunyi senjata dan pendropan pasukan BKO tiap enam bulan. Sesuatu yang dahulu diperagakan oleh Indonesia sewaktu mengusir belanda. Tapi sekarang, pendropan pasukan bukan lagi mengusir kolonial Belanda tapi, menakuti, mengintimidasi dan mengakibatkan sebagian daerah tertentu rakyatnya mengungsi di negeri sendiri sampai sekarang.
Hingga kini, melalui pepera, rakyat di bagian barat pulau Papua itu sudah sah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif, ini sudah ada dua provinsi dengan puluhan kabupaten dan dua kota. Kita sudah melakukan musyawarah untuk memastikan administratif wilayah secara sah, namun integrasi sosial dan kebudayaan belum di musyawarahkan. Kami masih berada di teras rumah yang bernama NKRI, kami belum berada di dalam rumah bersama saudara-saudari bangsa Indonesia yang lain
Lima puluh delapan (58) tahun sudah, New York Agreement memutuskan, menyelesaikan masalah Papua dengan jalan konsolidasi atau musyawarah mufakat. Mengapa harus konsolidasi? Sebab Papua merupakan salah satu bangsa dari bangsa-bangsa di Indonesia. Untuk itulah, nilai-nilai kebangsaan Papua harus diintegrasikan sebagai nilai leluhur bangsa Indonesia. Proses sebagaimana demikian dilakukan untuk mengkonsolidasikan beragam etnis dan suku bahkan marga di tanah Papua bagian barat, untuk merumuskan strategi kebudayaanya sebagai pijakan hidup bernegara dan berbangsa.
Oleh : Arkilaus Baho