Oleh: Peter Tukan*
HAMPIR dua bulan berlalu antara Juni hingga Juli 2020, publik dari semua lapisan masyarakat seperti politisi, mahasiswa, LSM, pemerintah, aparat keamanan, jurnalis, kaum perempuan, pemuka agama dan tokoh masyarakat serta pemangku adat di Papua maupun di luar Tanah Papua beramai-rami, malahan berlomba-lomba terlibat ke dalam debat, diskusi, seminar, jumpa pers dan sebagainya terkait berhasil atau gagalnya pelaksanaan amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Papua.
Tentang diskusi atau perdebatan tentang Otsus itu sendiri, setidaknya terdapat tiga kelompok masyarakat yang kita temui yaitu mereka yang menolak Otsus karena menilai Otsus telah gagal menyejahterakan rakyat Papua sehingga harus dicari “jalan lain” agar rakyat lebih sejahtera dan makmur; kelompok kedua adalah mereka yang menilai, Otsus telah berhasil namun perlu ada perbaikan atau penyempurnaan yang signifikan; serta kelompok ketiga adalah mereka yang bersikap diam yang aktif yakni tidak secara terbuka mengatakan Otsus gagal juga tidak mengatakan Otsus berhasil, namun mereka tetap bersikap tenang yang aktif sambil menatap dua kelompok yang sedang asyik berpolemik ria.
Rasa-rasanya membosankan dan melelahkan apabila di sini, penulis masih juga memaparkan berbagai alasan, mengapa kelompok yang satu mengatakan Otsus itu gagal dan kelompok lainnya mengatakan Otsus berhasil. Semua alasan itu sudah disampaikan melalui berbagai media yang terlihat dan terdengar masuk akal karena realitas telah membuktikannya dan ada pula alasan yang diberikan itu bukan atas dasar realitas, tetapi diupayakan sedemikian rupa agar pada akhirnya dapat diterima akal sehat (masuk akal).
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah, ketika kita semua terlibat ke dalam jurang perdebatan pro-kontra, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, menerima atau menolak Otsus Papua, kehidupan masyarakat kita di Tanah Papua tetap berjalan seperti biasanya. Mereka yang bermatapencaharian sederhana seperti petani dan nelayan, pedagang kecil di pasar, penjual sayur-mayur di emperan toko dan pinggir jalan raya, samasekali tidak peduli dengan polemik yang sedang terjadi itu. Bagi mereka, jauh lebih baik apabila hasil usaha mereka ini akhirnya dapat mendongkrak taraf hidup keluarganya ketimbang mendengar dan menyaksikan polemik politik Otsus yang tidak berkesudahan itu.
Bagi rakyat kecil, jauh lebih bermanfaat jika semua orang bekerja keras dan terus bekerja daripada ikut-ikutan terhasut api emosi akibat polemik politik yang berkepanjangan yang tidak menyentuh langsung kebutuhan hidup mereka yang nyata pada hari ini dan di sini.
Terkait kebijakan pelaksanaan Otsus Papua, para Uskup Gereja Katolik se-tanah Papua (Uskup Keuskupan Agung Merauke, Uskup Keuskupan Jayapura, Uskup Keuskupan Agats, Uskup Keuskupan Timika dan Uskup Keuskupan Manokwari-Sorong) dalam dokumen Surat Edarannya tertanggal 8 Agustus 2018 yang ditujukan kepada seluruh umat Katolik (tidak hanya umat awam tetapi juga para Pastor dan Biarawan) di Tanah Papua dan semua orang yang berkehendak baik mengatakan, “kita bertanya sejauh mana kebijakan-kebijakan khusus Otsus itu sudah terlaksana?” Pertanyaan reflektif ini disusul dengan kalimat berikutnya, “Pasti ada perbaikan dan kemajuan dalam banyak hal. Pimpinan daerah sudah di tangan orang asli Papua, kota dan sejumlah kabupaten maju dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih”.
Selanjutnya para Uskuyp mengatakan, “ada kebijakan beasiswa untuk banyak anak, ada pelatihan-pelatihan dan peningkatan kesejahteraan dan kesehatan, dan ada suasana damai dalam masyarakat yang menandakan ada hubungan baik antaragama dan antara berbagai komponen masyarakat.Meskipun demikian, masih banyak hal yang harus dikerjakan terus-menerus, karena yang mau kita bangun adalah manusia seutuhnya yang terus-menerus bertumbuh dalam semua dimensinya”.
(Camkanlah dan catat baik-baik, kalimat para Uskup yang terakhir ini yang sengaja penulis berikan warna hitam tebal. Para Pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua, tidak mengatakan bahwa Otsus Papua itu sudah berhasil seluruhnya secara sempurna, tetapi juga tidak semuanya gagal total. Para Uskup mengatakan, “Masih banyak hal yang harus dikerjakan terus-menerus karena yang dibangun itu adalah MANUSIA seutuhnya yang terus-menerus BERTUMBUH dalam semua dimensinya!).
Setiap kata di atas memiliki makna yang sangat mendalam. Bagi mereka yang cerdas, akan benar-benar berusaha merefleksikan makna kata-kata kunci ini yaitu: “Masih banyak hal”; “yang harus dikerjakan”; “terus-menerus” “yang dibangun”; “Manusia seutuhnya”; “bertumbuh”; “semua dimensinya”. Kata-kata kunci ini penuh makna. Harus dimengerti secara bijaksana, tidak emosional dan butuh kerendahan hati untuk memahami kata-kata kunci ini.
Para pemimpin Gereja Katolik dalam hal ini para Uskup, ketika memberikan pernyataan atau mengirimkan Surat Gembala (Nota Pastoral), selalu melakukan pilihan kata dan kalimat yang benar-benar bermakna untuk direnungkan atau direfleksikan secara tenang. Sebaliknya, tidak asal pasang kata atau kalimat yang tanpa pertanggungjawabannya; tidak gegabah dan emosional dalam menulis karena kata yang menyentuh HATI selalu berdampak pertobatan atau metanoia. Jadi, bukan “tiba masa- tiba akal”!.
Lebih lanjut, di dalam dokumen bersejarah ini, para Uskup se-Tanah Papua kembali menegaskan kunci kemajuan masyarakat Papua (apakah itu dalam masa Otsus atau bukan Otsus) adalah: BEKERJA. “Kunci untuk kemajuan dan mandiri adalah BEKERJA. Semua umat dan warga masyarakat hendaknya BEKERJA dalam bidang yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Kita mengharapkan Pemerintah daerah BEKERJA dengan disiplin, rajin dan jujur untuk kemajuan masyarakat; pelajar dan mahasiswa BELAJAR dengan rajin; pengusaha dan petani menekuni bidang masing-masing, memakai dana desa secara produktif dan bukan hanya menanti turunnya dana dari pemerintah yang kemudian dihabiskan hanya untuk konsumsi”.(Hal. 7)
Tentang “Bekerja” dalam kaitannya dengan perdebatan tentang berhasil atau tidak berhasilnya pelaksanaan UU Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otsus Papua, mantan Bupati dua periode (2000-2010) Kabupaten Merauke yang juga Tokoh Besar masyarakat adat Anim-Ha, Papua Selatan, John Gluba Gebze berpendapat sangat kiritis.
John Gluba Gebze menegaskan, bahwa kita tidak perlu membuka debat kusir yang hanya membuang-buang waktu dan tenaga karena kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Papua tidak terletak pada banyak bicara, menggelar seminar (webinar), berdebat politik yang tidak kunjung henti, tetapi justru ditentukan oleh kerja keras, berhenti berkoar-koar di jalanan, berkompetisilah secara sehat, tinggalkan rasa iri dan memulai menata masa depan Papua dengan kerja nyata.
“Orang yang banyak bicara dan hanya berpolemik, itu menandakan dia adalah manusia yang malas bekerja, tidak kreatif dan tidak mampu berinovasi serta lemah dalam bersaing secara sehat. Berhasil atau tidak berhasilnya pelaksanaan Otsus Papua pertama-tama terletak pada diri kita orang Papua sendiri, sedangkan saudara-saudara kita yang lain hanyalah bersifat membantu, mendukung dan mendampingi. Jangan sekali-kali bermimpi orang lain membantu kita apabila kita sendiri tidak membantu diri sendiri,” katanya.
Menatap tingkah politisi
Kembali kepada persoalan perdebatan kusir atau polemik yang berkepanjangan tentang berhasil atau tidak berhasilnya Otsus Papua selama rentang waktu sekian tahun (2001-2021), begitu banyak pihak mengambil sikap “menatap tingkah” para politisi kita. Publik benar-benar bersikap diam yang aktif menatap tingkah mereka yang berada dan aktif di partai-partai politik, lembaga pemerintahan, lembaga keamanan, lembaga legislatif dan lembaga kultur orang asli Papua dalam memberikan pendapat dan usul-saran terkait pelaksanaan Otsus itu sendiri.
Apabila kita semua memahami bahwa politik (Otsus) itu memiliki fungsinya yang tepat yakni mengusahakan tercapainya kepentingan umum atau kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat di tanah Papua maka dalam hal diskusi dan perdebatan tentang Otsus Papua, hendaklah semua tingkah politik kita selalu mengarah kepada satu titik bersama yakni kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan perdamaian seluruh rakyat di Tanah Papua.
Dalam hal berdiskusi, berseminar, berpolemik tentang Otsus Papua “Para politisi kita janganlah menjadi jagoan dalam akrobat kata-kata untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya dan golongannya sendiri. Para politisi itu seharusnya menjadi ahli-ahli runding untuk mencapai kesepakatan semua golongan dalam hal-hal yang menyangkut kesejahteraan bersama. Mereka seharusnya trampil dalam mengusahakan kompromi yang sehat. Agar, tanpa mengurbankan nilai-nilai yang luhur, berbagai pihak yang berbeda dan berseberangan dalam satu kepentingan, bisa mencapai satu pegangan bersama,” Uskup Leo Laba Ladjar,OFM dalam “Membangun Papua Tanah Damai”, Hal.84.
Para politisi kita yang diutus untuk juga memberitakan damai sejahtera bagi masyarakat kita, seharusnya tetap memusatkan perhatiannya pada kesejahteraan umum dan dengan giat mengusahakan tawar-menawar antara berbagai kepentingan yang berbeda untuk menjamin kesejahteraan bersama.
Dalam hal perdebatan tentang Otsus Papua, kita semua menyadari bahwa diskusi, perdebatan dan sejenisnya itu harus tetap ditempatkan di dalam konteks kita sedang berproses dalam alam demokrasi tanpa mengenal kata “memaksakan kehendak”.
Dalam alam pemikiran kita tentang perdebatan seputar berhasil atau tidak berhasilnya pelaksanaan Otsus Papua, baiklah pendapat Sosiolog Dr.Ignas Kleden patut kita camkan bersama dengan penuh kebijaksanaan yakni bahwa sebuah prinsip berdemokrasi ialah bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang jelek. Dasar dari apresiasi terhadap perbedaan ini adalah penghormatan kepada martabat setiap individu. Penghormatan kepada martabat individu mengimplikasikan hormat kepada pendapat dan kepentingannya yang mungkin saja berbeda dan bahkan bertentangan dengan pendapat dan kepentingan kita sendiri.
“Selanjutnya, kalau dari perbedaan-perbedaan itu kemudian timbul konflik, maka itu diusahakan untuk diselesaikan dengan tanpa kekerasan. Keindahan demokrasi terletak dalam kenyataan bahwa konflik tidak sama dengan perkelahian, perbedaan tidak identik dengan permusuhan, dan kompromi adalah hasil akhir dari proses take and give secara politik, suatu political exchange” (Ignas Kleden dalam “Dwi Fungsi ABRI, Kesatuan Bangsa Dan Kemajemukan Budaya” Jakarta, 21 November 1998.
Kesimpulan sementara menjadi jelas, dalam hal berpolemik, berdebat kusir, berdikusi, berseminar atau apa namanya tentang pelaksanaan Otsus Papua, apakah Otsus itu berhasil atau belum berhasil, kiranya kita tidak memaksakan kehendak – menganggap pendapat dan pemikiran kitalah yang paling benar dan karenanya harus diikuti semua orang. Dalam hal berdiskusi tentang Otsus Papua, kita patut mengedepankan hikmat-kebijaksanaan, tanpa memprovokasi banyak orang hanya karena pendapat kita tidak berkenan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan akal sehat dan realitas yang ada. Berjuanglah terus tanpa kekerasan karena kebenaran itu bukanlah monopoli hanya satu orang saja atau satu kelompok orang saja.
Akhirnya, semoga dalam berdiskusi tentang Otsus Papua, Damai Sejahtera dapat terwujud di dalam sebuah masyarakat baru Tanah Papua yang oleh Kitab Suci dilambangkan dalam “langit yang baru – bumi yang baru” (Yes.65). Semoga Damai dan Keadilan membaharui wajah bumi Cenderawasih dan melimpahi semua penghuninya dengan kegembiraan dan kesejahteraan berlimpah!
*Peter Tukan : mantan wartawan