*Oleh : Ambassador Freddy Number (Sesepuh Masyarakat Papua)
Para founding fathers NKRI meyakini bahwa kembalinya Papua akan berjalan mulus, namun ternyata proses mengIndonesiakan Orang Asli Papua (OAP) tidak berjalan sesuai harapan para pendiri negeri tercinta, tidak dapat kita istilahkan “take it for granted” (terima saja) bahkan sejak kembalinya Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi tanggal 1 Mei 1963 hingga 1 Mei 2020 selama ± 57 tahun banyak diwarnai konflik. Pada tahun-tahun pertamanya, wilayah Papua banyak diwarnai kekerasan dan pelanggaran HAM.
Adanya operasi militer di Papua seperti Operasi Wisnumurti I-IV, Operasi Bharatayudha untuk memenangkan Pepera, Operasi Wibawa dalam rangka penyelenggaraan Pepera dan lain sebagainya. Adanya pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua sejak 1961 dengan masuknya TNI melalui infiltrasi sebagai suatu tekanan politik selain diplomasi yang dilakukan untuk mengembalikan Papua ke dalam NKRI. DOM baru dicabut pada tahun 1998 oleh Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, setelah reformasi 21 Mei 1998.
Di era Bung Karno, Orang Asli Papua (OAP) memang di anak-emaskan, karena sejak Bung Karno berhasil mengembalikan Papua di bawah kepemimpinannya, beliau banyak menjanjikan adanya kebebasan, persamaan hak, persaudaraan dan OAP menjadi tuan di negerinya sendiri dalam bingkai NKRI. Hal ini dibuktikan Bung Karno dengan mengangkat Eliezer Jan Bonay (seorang anak adat dari wilayah budaya Sairei) sebagai Gubernur pertama Irian Barat. Disamping itu Bung Karno berlakukan 2 (dua) sistem mata uang yaitu Rupiah Irian Barat dan Rupiah Indonesia dengan nominal pada tingkat 1 Rupiah Irian Barat setara dengan 18,9 Rupiah Indonesia, tahun 1963 – 1973.
Namun setelah Bung Karno lengser, keadaannya berbanding terbalik dari yang ada sebelumnya. Kemerdekaan dan kebebasan OAP mulai dikekang dengan berbagai macam cara, sehingga OAP merasa seperti dijajah kembali.
Para penguasa di Jakarta pada masa lalu setelah Presiden Soekarno lengser tidak mau tahu menahu mengenai budaya dan pengalaman sejarah politik yang membentuk persepsi OAP terhadap orang asing yang datang untuk menguasai negerinya. Pengalaman empiris masa lalu juga mengajarkan OAP untuk tidak mudah percaya pada setiap pendatang baru yang konon kabarnya akan membawa perubahan dalam kehidupan mereka.
Pemikiran bahwa hanya dengan pendekatan keamanan adalah satu-satunya cara untuk mengIndonesiakan OAP ternyata keliru dan kita gagal dalam “memenangkan hati dan pikiran” (to win the heart and minds) OAP.
Salah satu cara mpengelola konflik adalah dialog seperti apa yang pernah dicontohkan Presiden B.J. Habibie tahun 1998. Ketika memasuki era Reformasi 21 Mei 1998 (saat itu penulis adalah Gubernur Irian Jaya yang juga merangkap sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara), masyarakat Papua di fasilitasi pemerintah daerah yang berkoordinasi dengan pemerintah pusat, akhirnya pemerintah menerima 100 orang delegasi yang mewakili masyarakat Papua dari semua wilayah adat untuk bertatap muka dan berdialog langsung dengan Presiden B.J. Habibie di Istana Merdeka.
Pada pertemuan tanggal 26 Februari 1999 yang berlangsung aman dan demokratis, perwakilan delegasi menyampaikan agar Papua dibiarkan memilih jalannya sendiri diluar system NKRI. Alasannya sangat sederhana, karena OAP merasakan dan mengalami jika dalam proses mengIndonesiakan mereka, dilakukan dengan penuh kekerasan dan intimidasi.
Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, mereka merasa bahwa mereka tidak diterima apa adanya, untuk menjadi bagian dari Bangsa Indonesia yang besar dan penuh keberagaman ini. Delegasi juga menambahkan bahwa sebagai OAP, mereka merasakan adanya usaha yang sistematis untuk menghilangkan identitas budaya kePapua-annya. Sejenak Presiden B.J. Habibie merenung, namun dengan bijak dan sangat diplomatis beliau menjawab: “Saudara-saudaraku, mengenai kekerasan dan pelanggaran HAM, saya minta, ampunilah mereka karena mereka tidak mengetahui apa yang diperbuatnya (mengutip kata-kata Tuhan Yesus Kristus). Tentang permintaan memisahkan diri, saya minta, pulanglah dan renungkan dulu hal itu”.
Setelah melakukan perenungan, maka Tim 100 kembali untuk menyampaikan hasilnya, namun pintu Jakarta di tutup rapat-rapat. Hal ini tentunya memiliki dampak tersendiri yang dapat kita rasakan hingga saat ini. Ini adalah embrio lahirnya Otonomi Khusus bagi Papua. Kehormatan dan martabat kita sebagai Bangsa Indonesia sedang dipertaruhkan dalam proyek besar untuk memenangkan hati dan pikiran OAP sebagai bagian integral NKRI. Kita semestinya membangun Papua dengan hati melalui sentuhan budaya dan karakteristik lokalnya, bukan dengan cara depotisme. Kita membangun Papua karena kita memang mencintai OAP, mereka adalah saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Untuk itu dibutuhkan pengelolaan konflik yang bermartabat dan manusiawi melalui dialog. Hilangkan kesan bahwa Papua adalah “kerikil dalam sepatu” Indonesia yang mengganggu kenyamanan saat bangsa kita melangkah maju di masa yang akan datang.