Oleh: Peter Tukan*
BANYAK kalangan dari berbagai latarbelakang agama, suku dan kelompok politik bertanya seperti ini: ”Bagaimana Gereja Katolik di Timor Timur masa lalu berjuang menegakkan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah konflik politik dan pertikaian bersenjata itu?
Pertanyaan ini muncul ketika orang atau kelompok orang mempertanyakan peran agama-agama dalam menegakkan HAM di wilayah konflik. Untuk itu, kita perlu mencermati bagaimana Gereja Katolik di Timtim berjuang menegakkan HAM di dalam situasi konflik. Bagaimanapun juga, “pengalaman adalah guru yang terbaik,” kata pepatah bijak.
Konflik politik dan pertikaian senjata di wilayah Timor Timur (Timor Lorosae) mulai berkobar sejak sekitar tahun 1974 ketika Portugis benar-benar meninggalkan wilayah itu disusul bermuncul aspirasi berbagai kelompok politik. Ada kelompok politik yang berjuang untuk kemerdekaan Timtim, namun ada pula yang berjuang agar wilayah dan masyarakat Timtim berintegrasi dengan Indonesia.
Fakta membuktikan, mayoritas penduduk Timtim adalah pemeluk Katolik. Itu berarti sebagai umat beragama, mereka digembalakan oleh Uskup Gereja Katolik. Sejak 19 Juni 1988, umat Katolik Timtim dipimpin Administrator Apostolik Dili, Timor Oriental, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB dan baru pada 30 November 1996, Vatikan memekarkan Keuskupan Dili menjadi dua Keuskupan dengan “melahirkan” Keuskupan Baucau. Keuskupan Baucau dipimpin Monsinyur Basilio do Nascimento,Pr dengan jabatan Uskup Tituler Settimunicia Administrator Apostolik Baucau.
Perjuangan menegakkan HAM dalam segala dimensinya oleh Gereja Katolik di Timtim masa itu (saat penulis berada di Timtim) justru berlangsung pada tahun-tahun yang amat sulit dimana terjadi konflik politik dan pertikaian senjata yang sangat mengerikan yang telah menelan ribuan nyawa manusia dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Posisi Gereja Katolik di Timtim saat itu tidak hanya berada dalam situasi teramat sulit tetapi juga sangat dilematis. Pada satu pihak Gereja (hirarki dan umat) ingin agar hak-hak asasi manusia terutama Keadilan dan Perdamaian - seperti diamanatkan Ajaran Sosial Gereja dan Piagam PBB - terwujud dalam kehidupan setiap hari, namun pada pihak lain, Gereja dihadapkan dengan konflik politik dan senjata yang tidak berkesudahan antara dua kekuatan yang saling bermusuhan yakni kekuatan yang mempertahankan Timtim di dalam pangkuan ibu pertiwi Indonesia dengan kekuatan yang berjuang untuk kemerdekaan Timtim lepas dari Indonesia.
Posisi Gereja Katolik sungguh terjepit! Pada satu pihak, ada kelompok yang memperjuangkan tegaknya HAM demi tercipta keadilan dan perdamaian bersama dalam bingkai NKRI, tetapi pada pihak lain, ada kelompok yang berjuang menagakkan HAM sebagai jembatan menuju kemerdekaan Timor Timur. HAM adalah alat atau sarana merebut cita-cita kemerdekaan!
Pada dua kelompok yang berbeda persepsi dan haluan politik sangat tajam dalam menegakkan HAM itulah, Gereja Katolik berada. Realitas membuktikan bahwa mereka semua yang berada dalam dua kelompok ini adalah umat Katolik – warga Gereja Keuskupan Dili, Tanah Timor Lorosae. Setiap kelompok politik yang bertikai ini berjibaku menarik hirarki Gereja Katolik ke dalam kelompoknya dengan tujuan politik praktis masing-masing yang sangat sulit dipertemukan.
Di dalam situasi konflik yang mencekam itu, orang dapat saja mencampuradukkan upaya penegakkan HAM dengan pejuangan politik merebut kemerdekaan. Di dalam daerah konflik, pemahaman (persepsi) tentang HAM sering menjadi “kabur air” dan tumpang tindih. Keadilan dan Perdamaian menurut kelompok pro-kemerdekaan baru dapat tercapai apabila Timtim memperoleh kemerdekaan; sedangkan bagi kelompok yang berlawanan berpendapat bahwa Keadilan dan Perdamaian baru dapat tercapai jika Timtim tetap berintegrasi dengan Indonesia.
Menjadi Bunda Yang Merangkul
Di dalam situasi seperti ini, apabila Hirarki Gereja salah melangkah, tidak hati-hati dan tidak bijaksana, maka Gereja akan terjebak ke dalam jurang pertikaian bersaman dengan bertikainya dua kelompok yang berbeda haluan politik itu, padahal Gereja (hiraki) sendiri, tidak boleh terjun ke dalam politik praktis itu melainkan tetap berdiri kokoh sebagai “Bunda yang merangkul anak-anaknya yang dlahirkan dalam Pembaptisan”.
Perjalanan sejarah Gereja melintasi zaman mencatat dengan tinta emas bahwa Gereja Katolik senantiasa peduli dan ikut berjuang menagakkan HAM demi tercapai kehidupan bersama yang adil dan damai. Gereja harus berada sebagai Pendamai pihak-pihak yang bertikai, bukan sebaliknya, ikut mendorong, memanas-manasi dan merunyamkan pertikaian itu sendiri.
Pada sekitar tahun 1980-an hingga 1997, begitu banyak orang, baik di Timtim maupun di luar wilayah Timtim, kuat beranggapan bahwa Uskup Carlos Filipe Ximemenes Belo,SDB dan Uskup Basilio do Nascimento, Pr terjun ke politik praktis dengan mendukung faksi perjuangan kemerdekaan Timtim.
Malahan, faksi yang memperjuangkan kemerdekaan Timtim “mengklaim” bahwa hirarki Gereja Katolik berada di pihak mereka, sebaliknya pihak yang berjuang agar Timtim tetap bersama Indonesia menuding dan mengecam hirarki Gereja Katolik tidak mendukung Timtim untuk tetap berada dalam pangkuan Indonesia melalui tawaran Otonomi Khusus Timtim. Menurut mereka, Uskup hanya diam saja, tidak berbuat apa-apa saat kelompok pro-integrasi diserang oleh pro-kemerdekaan.
Setiap pernyataan Pimpinan Gereja Katolik di Timtim saat itu -- dalam kaitan dengan perjuangan menegakkan HAM -- dinilai oleh kelompok pro-kemerdekaan sebagai ikut mendukung perjuangan mereka. Ada “angin segar” dari Pimpinan Gereja. Sebaliknya, kelompok pro integrasi mamandang perjuangan Gereja Katolik menegakkan HAM merupakan pengkhianatan terhadap realitas integrasi Timtim dalam pangkuan Indonesia.
Sungguh benar, bahwa pada masa itu, umat Katolik Timtim yang adalah bagian integral dari warga masyarakat Provinsi Timtim terbelah menjadi dua kelompok politik yang saling bertikai tanpa henti.
Pertanyaan penting adalah, bagaimana sikap Gereja Katolik di Timtim menghadapi realitas keterpecahan umatnya dalam politik praktis seperti ini? Bagaimana di dalam situasi seperti ini, Gereja Katolik memperjuangkan tegaknya HAM? Apakah Gereja Katolik di Timtim mendukung politik praktis perjuangan kemerdekaan Timtim lepas dari Indonesia?
Menghadapi realitas keterpecahan ini, Gereja Katolik dengan susah payah dan dengan segala keterbatasannya terus berusaha “merangkul” kedua kelompok politik yang bertikai itu sebagai umatnya dan terus bersabar menerima kritik dan kecaman, tidak hanya dari setiap kelompok yang bertikai tetapi juga dari masyarakat di luar wilayah Timtim yang tidak memahami latarbelakang konflik, situasi dan kondisi riil pergolakan politik dan pertikaian senjata di wilayah itu. Setiap kelompok bertikai itu memaksakan kehendak agar hirarki Gereja mengikuti kemauan politik mereka.
Pada saat yang sama, media massa (sadar atau tidak sadar) terlanjur ikut membentuk opini, membangun persepsi publik nasional dan internasional bahwa Gereja Katolik di Timtim melalui perjuangan HAM ikut berpolitik praktis memerdekakan Timtim. Persepsi ini justeru sangat merugikan Gereja itu sendiri, malahan Uskup Belo sendiri “menderita batin” terkucil bertahun-tahun lamanya karena persepsi yang buruk itu.
Semua sikap, perkataan dan perbuatannya dalam kerangka penegakkan HAM agar kehidupan bersama menjadi aman,adil dan damai dinilai sebagai bagian dari perjuangan memerdekakan Timtim. Malahan kelompok tertentu dalam lembaga keamanan negara pun menuding Uskup Belo sebagai “pengkhianat” bangsa dan negara Indonesia. Uskup Belo menjadi bulan-bulanan pers yang melakukan kampanye hitam mendiskreditkan hirarki Gereja.
Media (sadar atau tidak sadar) telah terlanjur membangun persepsi publik yang keliru bahwa Gereja Katolik di Timtim merupakan bagian dari kelompok pro-kemerdekaan Timtim.
Sehubungan dengan karya penegakkan HAM, Gereja Katolik di Timtim punya prinsip dan pegangan yang sama dengan Gereja Katolik dibelahan dunia lainnya yakni “Tidak ada Perdamaian tanpa Keadilan dan Tidak ada Keadilan tanpa Perdamaian. Keadilan tercapai apabila ada penghormatan atas hak-hak asasi manusia!”
Begitu pula, Gereja berpendapat bahwa semua hak asasi harus diperhatikan seluruhnya dalam hidup bersama, karena semua hak ini saling terkait secara intrinsik. Kita tidak boleh memajukan beberapa hak saja sambil mengabaikan yang lain, karena nanti pada akhirnya kita merugikan martabat manusia sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Dan itulah yang dipegang teguh oleh Gereja Katolik sepanjang perjalanan zaman, dimanapun Gereja Katolik itu berada dan berkarya.
Gereja Katolik memperjuangkan solidaritas umat manusia untuk bersam-sama menegakkan damai yang sejati atas dasar keadilan yang pada tempat pertama berarti menegakkan hak-hak asasi manusia. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia harus dipandang sebagai sebuah ibadah.
Banyak sekali langkah-langkah nyata yang dilakukan pimpinan Gereja Katolik dalam hal ini Uskup Belo dalam menegakkan HAM. Apa yang sedang dan sudah dikerjakan tidak perlu dan tidak harus diberitakan ke publik melalui media.
Uskup Belo berupaya keras- tak kenal lelah dalam mencegah semakin bertambahnya korban jiwa akibat konflik bersenjata yang berkobar di wilayah pedalaman Timitim. Dia secara diam-diam mengontak mereka yang sedang berttikia itu untuk berhenti berperang. Apa yang dilakukan itu samasekali tidak diketahui oleh siapapun juga dan memang tidak perlu digembar-gemborkan.
Bekerja Dalam Diam Yang Aktif
Uskup Belo pun secara diam-diam mendatangi aparat keamanan untuk meminta pembebasan banyak tawanan konflik bersenjata. Dia juga secara pribadi dan diam-diam menemui petinggi keamanan meminta agar menghentikan pertikaian senjata di kampung-kampung agar rakyat yang tidak berdosa tidak sampai terbunuh sia-sia. Dalam banyak hal, Pemimpin Gereja Katolik – tidak hanya di Timtim - selalu bekerja dalam diam yang aktif tanpa dipublikasikan di media karena tidak mau mencari popularitas diri yang semu. Itulah karya politik Gereja yang bermakna lebih luas yakni berjuang dalam diam yang aktif demi kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama (bonum commune).
Tidak sedikit orang memberi kesan bahwa Uskup Belo selalu mengambil posisi berseberangan dan “menyerang” dengan pernyataannya untuk mendiskreditkan kebijakan keamanan yang dilakukan para petinggi aparat keamanan TNI dan Polri tetapi ternyata, Uskup sendiri tidak henti-hentinya membangun relasi personal yang baik, kritis dan konstruktif dengan aparat keamanan agar terjadi tercipta kehidupan bersama yang lebih aman dan damai.
Pendekatan pribadi dalam diam yang aktif jauh lebih bermanfaat dan berhasil daripada berteriak di jalanan karena tindakan seperti ini belum tentu dapat menyelesaikan masalah, malahan sebaliknya, dapat menimbulkan masalah baru yang lebih rumit lagi yang merugikan semua lapisan masyarakat.
Bahwa ada aspirasi sebagian rakyat agar Timtim Merdeka dan ada pula yang berkeinginan Timtim tetap berintegrasi dengan Indonesia, itu bukanlah urusannya. Yang menjadi urusannya adalah agar seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan SARA dapat hidup dan bekerja di seluruh wilayah Timtim dalam kedamaian dan keadilan, serta persudaraan.
Sedangkan terkait dengan dugaan atau tudingan bahwa hirarki Gereja Katolik di Timtim mendukung politik praktis perjuangan memerdekakan Timtim dapatlah dikatakan bahwa Gereja Katolik di Timtim justru senantiasa memberikan saran bijak demi menghindarkan masyarakat dari pertikaian dan perpecahan kronis. Pilihan dan keputusan terkait politik praktis sepenuhnya dikembalikan kepada Rakyat. Rakyatlah yang menentukan arah politik, bukan Gereja!
Sikap resmi Gereja Katolik menghadapi problem krusial di sebuah wilayah konflik politik dan pertikian senjata,dinyatakan melalui keputusan dan kebijakan Uskup. Suara Uskup menjadi penentunya, bukan suara yang lain. Di dalam hal-hal yang substansial yang menyangkut harkat dan martabat manusia, nasib hidup dan keselamatan umat manusia di wilayah itu, Uskup memiliki otoritas untuk menyampaikan suara resmi tentang sikap Gereja Katolik, bukan diambil alih atau diwakilkan oleh yang lain.
Di sini, ketaatan atau loyalitas umat Katolik kepada gembalanya adalah kunci utama yang mempersatukan umat di dalam situasi konflik seperti ini. Gereja Katolik tetap berdiri kokoh dari zaman ke zaman justru karena loyalitas – kesetiaan yang utuh dan tunggal kepada Uskup selaku pengganti para Rasul Kristus! Tidak ada pilihan lain!
Karena itu, di daerah konflik seperti Timtim, suara Uskup sangat didengar oleh publik. Di luar suara dan kebijakan Uskup, apapun tindakan dan langkah yang ditempuh tidak akan didengar atau diladeni! Kewibawaan Gereja dipertaruhkan demi persatuan Gereja semesta.
Dokumen Tertulis menjadi bukti
Sikap remi Gereja terkait pilihan politik: apakah memilih Merdeka atau tetap berintegrasi dengan Indonesia, telah disampaikan secara terbuka di dalam Dokumen resmi Keuskupan Dili yakni Surat Pastoral Uskup Dili tahun 1975 yang menyatakan secara tegas bahwa pilihan politik apapun, sepenuhnya berada di tangan Rakyat! Sikap yang sama terulang lagi dalam Surat Pastoral Uskup Dili pada 31 Juli 1994 (sekitar lima tahun sebelum Referendum) yang menyatakan :”Posisi Gereja Katolik di Timor Timur pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur,”
Pada tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai mempersiapkan rakyat Timor Timur untuk melaksanakan jajak pendapat atau referendum yang terlaksana pada 30 Agustus 1999. Mengapa PBB memutuskan untuk melaksanakan Referendum karena sampai pada waktu itu, Timtim sebagai wilayah bekas koloni Portugis masih belum diakui PBB sebagai bagian integral dari NKRI, maka harus dilaksanakan Jajak Pendapat Rakyat alis Referendum.
Menghadapi perhelatan demokrasi Referendum itu, sikap Gereja Katolik di Timtim sangat jelas dinyatakan dalam Surat Gembala Uskup Dili 30 Agustus 1999. Ini kutipan langsung Surat Gembala itu: “Posisi Gereja Katolik di Timor Timur, pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur. Pada situasi ini, pilihang yang dianjurkan Gereja adalah pilihan untuk melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap reherendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodir seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur.
Namun demikian, jika pilihan terhadap Referendum menghadapi berbagai persoalan yang maha besar dalam pelaksanaannya, termasuk kekhawatiran dan kecemasan akan terjadinya pertumpahan darah dan perpecahan yang mendasar di kalangan rakyat Timor Timur sendiri, maka anjuran kepada Pemerintah Indonesia, sebagai kekuatan yang menduduki wilayah ini, untuk memberikan otonomi yang lebih luas atau memberikan status wilayah ini sebagai daerah khusus. Otonomi yang lebih luas atau pemberian status sebagai daerah khusus dianjurkan untuk dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan,”, tulis Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB dalam Surat Gembala tersebut.
Cermatilah dengan saksama kata “anjuran” – artinya dalam hal politik praktis, Gereja hanya menganjurkan, sedangakn keputusan akhirnya ada pada pilihan rakyat Timtim sendiri. Jadi, dalam hal politik praktis, Gereja Katolik dalam kasus ini, berada pada posisi yang menganjurkan, bukan memutuskan atau penentu! Mengharapkan secara berlebihan agar Gereja Katolik ikut serta memutuskan persoalan politik praktis merupakan harapan yang tidak akan terlaksana sampai kapanpun juga.
Pertanyaan susulan lainnya adalah, apakah Pimpinan Gereja Katolik di Timtim pernah diminta untuk menandatangani suatu dokumen Pernyataan Bersama atau Kesepakatan Bersama terkait penanganan persoalan hukum atau keamanan yang masuk dalam wilayah politik praktis?
Sejarah Gereja Katolik di Timor Timur mencatat bahwa pada pada 21 April 1999, digelar acara Penandatangan “Kesepakatan Tentang Penghentian Permusuhan Dan Upaya Menciptakan Perdamaian di Timor Timur”. Isi dari kesepakatan itu antara lain mengatur penghentian pertikaian senjata dan mengatur penegakkan hukum di Timtim.
Adapun mereka yang namanya tercatat dalam naskah Kesepakatan itu untuk memberikan tanda tangan adalah para pemimpin faksi-faksi yang bertikai yaitu pro kemerdekaan Kay Rala Xanana Gusmao, pro-integrasi Domingos Soares, Gebernur Timtim Abilio Jose Osorio Soares, Ketua DPRD Timtim Armindo Soares Mariano, Menhankam/Panglima TNI, Jenderal TNI Wiranto, Uskup Keuskupan Dili Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB dan Uskup Keuskupan Baucau Basilio do Nascimento,Pr dan Komnas HAM RI, HR Djoko Soeginato,SH.
Naskah Kesepakatan itu disusun oleh sebuah Tim khusus tidak melibatkan Gereja Katolik. Dua Uskup Gereja Katolik di Timtim itu hanya diundang hadir untuk menandatangani Kesepakatan itu tanpa lebih dahulu diberikan kesempatan membaca keseluruhan isi Kesepakatan tersebut pada hari sebelumnya. Pertanyaannya adalah: Bagaimana sikap Hirarki Gereja Katolik di Timtim terkait Kesepakatan yang harus ditandatangani hari itu?
Ternyata pada hari itu juga, dua Uskup Gereja Katolik di Timtim mengeluarkan “Pernyataan Sikap Para Uskup Dioses Dili dan Dioses Baucau”. Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo,SDB dan Uskup Basilio do Nascimento tidak ikut menandatangani naskah Kesepakatan dan secara tegas menyatakan: ”Para Uskup Dioses Dili dan Dioses Baucau semata-mata (Meramente/Solely) menjadi Saksi Mata (Testemunhas Oculares/Testes A Visu) atas event Kesepakatan Tentang Penghentian Permusuhan dan Upaya Menciptakan Perdamaian di Timor Timur sebelum berkonsultasi dengan Vatikan” tulis dokumen Pernyataan sikap itu.
Di sini kita dapat memahami secara baik, benar dan utuh bahwa dalam hal sikap Gereja Katolik atas persoalan politik praktis yang substansial ( antara lain pengaturan penyelesaian permasalahan hukum dan keamanan), Gereja Katolik tidak bisa diintervensi dan/atau dipaksa untuk secara serta merta bersikap atau memberikan tandatangan persetujuan atas sebuah dokumen resmi sesuai keinginan atau kehendak orang atau lembaga di luar Gereja Katolik tanpa lebih dahulu dibicarakan, dikonsultasikan, didialogkan dan dibahas bersama-sama secara hati-hati dan arif-bijaksana.
Di dalam hal-hal yang prinsip (subtansial) Gereja Katolik tetap memiliki sikap yang kukuh, namun senantiasa disampaikan atau dilaksanakan dengan cara yang sangat elegan – Fortiter in Re, Suaviter in Modo – Kukuh dalam Bersikap, Elegan dalam Bertindak!
Peter Tukan* : Wartawan aktif 1980-2020