Perasaan senasib akibat dijajah oleh kolonial Belanda saat itu, maka secara bersama-sama berjuang menghapus rasisme, menolak penjajahan manusia satu atas manusia lain, bangsa satu atas bangsa lain. Perasaan tersebut dimaknai sebagai perjuangan bangsa Indonesia.
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, maka itu, Bangsa Indonesia artinya sama senasib seperjuangan, gotong royong berjuang melawan dan mengusir penjajahan. Itulah akar dari nasionalisme kita. Bukan bangsa Indonesia dipandang dari aspek teritorial, jauh sekali esensinya.
Memang orde baru selama berkuasa, mengikis semangat kebangsaan Indonesia yang senasib sependeriraan kedalam pemahaman yang sempit sebatas nasionalisme teritorial. Padahal, bukan seperti itu yang dimaksud bangsa Indonesia.
Rasisme merupakan musuh bangsa. Sebab, bila makin subur, bangsa Indonesia yang dimaksud diatas, hilang dari spirit kebangsaan. Memelihara atau membiarkan cara pandang rasis yang verbal maupun fisik, sama saja memecah belah negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
Warisan Rasisme
Produksi rasis sudah ada sejak praktik kolonialis di nusantara. Penduduk di bagi atas kaum pribumi dan keturunan eropa. Pemisahan penduduk era Belanda itu, kaum pribumi dianggap sebagai kelas dua sedangkan darah eropa sebagai kelas satu. Praktik penguasaan politik maupun ekonomi, kaum pribumi yang punya negeri selalu menjadi penonton.
Rasisme era sesudah negara Indonesia, diproduksi oleh oligarki kekuasaan cendana. Orde baru berkuasa, warga Indonesia keturunan Tiongkok mendapat serangan rasisme hingga keruntuhan orde baru, sampai sekarang belum semua kasus diselesaikan.
Nasionalisme negara Indonesia yang awalnya merupakan pemersatu bangsa bangsa itu, dikebiri oleh oligarki kekuasaan semenjak orde baru hingga sekarang. Cara mengebirinya mudah, ketika terjadi tindakan yang nyata-nyata rasis, pihak berwajib seakan mengedepankan pasal-pasal kriminal, menjauhkan narasinya dari praktik rasisme. Akibatnya, penegakan hukum atas kejahatan tersebut belum total dilakukan. Terjadi pembiaran.
Rasisme Musuh Bersama
Cara pandang terhadap masalah rasis, kita tidak bisa memandangnya secara harafiah. Sebab, konotasi akan warna, bentuk dan latar belakang, sama sekali tidak menyelesaikan pokok masalah rasisme itu sendiri. Hitam, putih, keriting, lurus, coklat, kuning, mata sipit, dll. Perbedaan yang dibeda bedakan adalah cara penjajah ingin menguasai dan mengeksploitasi, dengan cara memecah belah persatuan rakyat melalui warna dan simbol belaka.
Karena berpola pikir warna dan simbol, manusia sebagai bangsa Indonesia yang senasib sependeritaan, sebagai spirit persatuan dalam mengusir penjajah, berhasil diceraikan melalui propaganda warna dan simbol. Orang Papua bergaul hanya sesama Papua, rambut lurus dan keriting saling jaga jarak, bahkan ketika menyebut bangsa Indonesia seakan bukan Papua, atau bukan sumatera dan lainnya.
Bahwa penjajah masa lalu mewariskan oligarki kekuasaan mereka kepada sekelompok elit di Indonesia, untuk terus memperaktikkan cara-cara rasis sebagai jalan memecah belah bangsa-bangsa yang senasib, punya musuh bersama, lalu bersatu. Oligarki tersebut melahirkan borjuis yang kemudian memproduksi aturan negara terkait rasisme. Penguasa yang memproduksi Undang-undang. Jadinya, memandang rasisme bukan sebagai musuh bersama tapi lebih pada warna dan simbol, ayat dan pasal atau aturan negara lainnya, berdampak pada saling sandera, curiga, apatis antar sesama bangsa Indonesia.
Cara Pandang
Cara pandang yang berdampak pada rasisme, saya analogikan agar memudahkan kita memahami sebenarnya rasis itu bermula dari apa yang dilihat, dipelajari, oleh lingkungan dan pergaulanya.
...Seorang warga negara inggris berkunjung ke pasifik selatan. Di Inggris, masyarakat disana hidup diatur oleh bunyi mesin industri. Pagi ke kantor atau pabrik untuk kerja, sorenya pulang ke rumah. Hidupnya selalu dia jalani ketika saatnya dia bekerja. Semasa remaja pun dia menyaksikan kesibukan orang tua dan tetangganya melakukan aktivitas tiap hari pergi pagi pulang sore.
Suatu waktu dia ingin berkunjung ke pasifik selatan. Disini, masyarakatnya pribumi. Belum mengenal kerja industri, atau upahan. Warga inggris tadi bengong dan terheran-heran, kok orang-orang disini kerjanya duduk di rumah pondok atau para-para berkumpul cerita dari pagi sampai sore, mereka tidak kerja kah? Orang Inggris tersebut lalu berkesimpulan bahwa oh...berarti orang hitam dan keriting itu bodoh, malas kerja, tidur bangun berkumpul dan cerita saja. Padahal, si bule itu tidak paham, masyarakat pribumi bekerja berburu dan berkebun jika persediaan makanan di rumah sudah habis. Bukan bekerja ikut bunyi mesin pabrik sebagaimana dilingkunganya di Inggris.
Gegara gagal paham itulah, muncul stigmatisasi (bodoh, malas kerja, tidur bangun saja ) dan seterusnya yang dikemudian hari dipakai sebagai senjata psikologi untuk melemahkan penduduk pribumi tertentu supaya merasa minder dan tidak bisa maju dan bersaing.
Analogi diatas juga menjadi acuan dalam memahami apa itu rasisme. Orang memahami rasisme menurut tafsir dari buku atau catatan yang dia baca dan pahami. Rasisme menurut hukum dan undang-undang, rasisme menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, versi orang Papua, versi bangsa lain di Indonesia, bahkan persamaan nasib sebagaimana telah diulas bangsa Indonesia dan warisan rasisme.
Oleh Arkilaus Baho