SILATURAHMI Idul Fitri sering dimanfaatkan banyak orang di Papua untuk berceritera tentang suksesnya (succsses story) umat Kristen dan Islam menjalin persaudaraan insani – menenun benang-benang silaturahmi dalam keseharian hidup mereka.
Kisah-kisah sukses itu diceriterakan dari satu generasi ke generasi yang menyusuli, tidak hanya untuk dikenang tetapi juga diteladani dan dilestarikan. Menenun benang-benang persaudaraan insani tidak lain merupakan bagian integral dari perwujudan Ukhwah Insaniyah dan Ukhwah Wathaniyah.
Henokh (51 thn) – seorang warga Distrik Abepura, Kota Jayapura mengisahkan, ketika dirinya masih berusia sekitar enam tahun, ibu dan ayah bersama tiga saudara kandungnya memiliki kebiasaan dalam rumah yaitu pada hampir setiap pagi Pkl.06.00 WIT, jika tidak ada aral-melintang, mereka berkumpul di beranda rumah mengambil waktu khusus untuk menjalani “Saat Teduh” – berdoa, membaca dan merenungkan Al Kitab.
Pada suatu pagi yang cerah, lanjut Henokh, ayah memintanya membacakan kutipan Al Kitab yang menceriterakan tentang “Keturunan Abraham” yang termaktub di dalam Kitab Kejadian Pasal 21 dan 25. Di dalam Kitab Kejadian itu dikisahkan kelahiran Ishak; Keturunan Abraham; Abraham meninggal dan dikuburkan; Keturunan Ismael dan Kisah Esau dan Yakub.
Peter Tukan/Istimewa
“Pada Kitab Kejadian itu, kami merenungkan pekerjaan Allah di dalam diri Bapa Abraham dan keturunannya. Pada kisah itulah, saya berama ayah, ibu dan saudara-saudaraku tahu bahwa Abraham – Bapa Bangsa Israel itu memiliki dua orang anak yaitu Ishak dan Ismael. Kedua anak ini sangat disayang dan dikasihi Tuhan. Keduanya melahirkan keturunan yang kelak menjadi bangsa yang besar mendiami muka bumi ini,” kata Henockh mengenang masa kecilnya.
Menurut Henockh, ceritera berikutnya yang ada kaitannya dengan ceritera pertama di atas adalah, pada sekitar seminggu kemudian, ketika pulang dari sekolah, ibuku sudah menunggu di pintu gerbang Sekolah Dasar yang terletak di perkampungan Kota Raja, Distrik Abepura. Ibu memegang tangan kananku dan berjalan kaki dari sekolah menuju rumah. Kami melewati sebuah Masjid dan terlihat banyak orang dewasa berbondong-bondong mendatangi Masjid itu. Mereka mengenakan kopiah, membawa serta selembar sajadah yang terlihat sangat bagus diletakkan di pundak masing-masing.
“Saya bertanya kepada ibu. Seruan yang terdengar melalui alat pengeras suara itu artinya apa? Dan ibu dengan cepat mengatakan, oh...itu suara seruan memanggil semua orang Muslim untuk berdoa. Semua orang yang Henockh lihat berbondong-bondong datang ke Masjid itu adalah Kitorang punya Sodara sendiri, mereka bukan orang lain,” kata Henockh mengulangi kata-kata nasehat ibunya.
Mendengar apa yang dikatakan ibuku, lanjut Henockh, dirinya masih juga bertanya kepada ibunya. Apa maksud “Sodara Kitorang”?
Ibunya mengatakan, Henock.... kamu masih ingatkah minggu yang lalu, ayah meminta kamu membaca kutipan Kitab Kejadian pada Al Kitab yang kamu pegang di beranda rumah kita? Ketika itu ada ceritera tentang Bapa Abraham atau Ibrahim. Bapa Abraham itu adalah nenek moyang kita yang hidup pada ribuan tahun lalu.
Bapa Abraham punya dua anak yaitu Ishak dan Ismael, kan? Dari keturunan Ishak lahirlah Nabi Yesus Kristus yang kita ikut dan beribadah kepadaNya pada setiap hari Minggu di Gereja; sedangkan dari garis keturunan Ismael lahir Nabi Muhammad SAW. Mereka yang mengikuti Nabi Muhammad itu adalah kitorang punya Sodara-sodara yang berkumpul di Masjid ini. Mereka beribadah di Masjid pada setiap pagi subuh, siang, sore dan menjelang malam. Karena Ishak dan Ismael bersodara maka kitorang pun bersodara dengan dorang (baca: mereka).
“Mamaku mengatakan, kami orang Kristen dan orang Islam itu adalah Sodara Bersodara karena punya nenek moyang yang satu yaitu Bapa Abraham atau Ibrahim. Sampai kapan pun kita tetap Bersodara, jadi harus saling menghormati satu sama lain, baik pada waktu senang apalagi saat susah. Pokonya, Kitorang Bersodara!” kata Henockh mengulangi pesan mamanya saat masa kecilnya.
Dari kisah indah Henockh di masa lalu, ada ceritera indah lainnya yaitu pada Hari Raya Idul Fitri tahun 2007, Pemimpin Umat Katolik Keuskupan Jayapura, Uskup Leo Laba Ldjar,OFM didamping beberapa Biarawati dari Kongregation Der Franziskanerinnen VM HI Maertyer Georg/FSGM bersilaturahmi dengan Ketua MUI Provinsi Papua yang ketika itu dijabat Bapak H.Zubeir D.Hussein,MM.
Pada kesempatan silaturahmi tersebut, Bapak Zubeir berceritera bahwa dirinya bersama sejumlah tokoh Muslim sudah pernah berziarah rohani ke Tanah Suci, selain Mekkah dan Madinah, juga berziarah ke Bethlehem dan tempat-tempat suci umat Muslim, Kristen dan Yahudi lainya di Yerusalem dan sekitarnya.
Usai berceritera tentang betapa khususknya ribuan peziarah berdoa di kota suci itu, Bapak Zubeir menyerahkan kepada Uskup Leo Laba Ladjar,OFM cendera mata yang dibawanya dari Bethlehem berupa piring bundar bertuliskan “Bethlehem 2000” dihiasi gambar karikatur rumah ibadah tiga agama besar Monotheisme yakni Yahudi, Islam dan Kristen.
“Saudaraku, inilah cendera mata yang saya bawa dari kota suci Bethlehem. Kita semua bersaudara. Kita semua punya Nabi Ibrahim yang adalah Bapa dan Teladan Iman Monotheisme. Kita menjadi satu di dalam Allah Yang Esa – yang kita sembah hingga maut memisahkan kita dari dunia yang fana ini. Kita hidup rukun bersaudara karena memang kita bersaudara,” kata Ketua MUI Provinsi Papua, H. Zubeir Hussein sebelum melepraspergikan Uskup Leo Laba Ladjar,OFM dan para biarawati FSGM dari kediamannya yang terletak di jantung Kota Jayapura itu.
Sejarah pekabaran Injil di Tanah Papua mencatat dengan tinta emas bahwa pada tahun 1855 ada kisah sukses jalinan persaudaraan Islam – Kristen masa itu, yakni bahwa kedatangan dua orang Pekabar Injil, Ottow dan Geissler ke Tanah Papua (tiba di Pulau Mansinam, Papua, 5 Februari 1855) untuk memberitakan Firman Allah di Bumi Cenderawasih ini justru lebih dahulu mereka diterima oleh Sultan Tidore dan masyarakat Kesultanan Tidore di Ternate dengan sikap yang sangat ramah dan tulus hati.
Pada 30 Mei 1854, Ottow dan Geissler tiba di Ternate untuk mempersiapkan diri menempuh perjalanan ke Pulau Mansinam, Papua. Kedua Pekabar Injil ini selama berada di Ternate mendapat bantuan maksimal dari Sultan Tidore dan masyarakat setempat. Selama di Ternate, Ottow dan Geissler belajar Bahasa Melayu dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Papua. Keberangkatan Ottow dan Geissler ke Papua mendapat rekomendasi dari Sultan Tidore yang dikenal sebagai seorang pemeluk Islam yang sangat taat dan sangat baik hati.
Persaudaran Insani
Pada 3-5 Februari 2019, Pemimpin Umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus mengadakan Perjalanan Apostolik ke Uni Emirat Arab (UEA). Pada 4 Februari 2010 di Abu Dhabi, terukirlah dengan tinta emas, sebuah perjumpaan yang sangat monumental antara Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb dan melahirkan sebuah dokumen Persaudaraan Insani “The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together” - sebuah peta jalan berharga untuk membangun perdamaian dan menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama.
“Iman menuntun orang beriman untuk melihat orang lain sebagai seorang Saudara laki-laki atau Saudara perempuan yang harus didukung dan dicintai. Melalui iman kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta, segala makhluk, dan semua manusia, orang-orang beriman dipanggil untuk mengungkapkan persudaraan insani ini dengan melestarikan ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang miskin dan mereka yang paling membutuhkan,” tulis salah satu bagian dari Dokumen itu.
Deklarasi bersama antara Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al-Azhar Syeikh Ahmad Al-Tayyeb tentang “Persaudaraan Insani Demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” yang dikenal dengan “Dokumen Abu Dhabi” kini bergema sampai di Tanah Papua.
Dalam rangka menyongsong Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua ke-165 ( 5 Februari 1855-2020) maka pada Selasa, 4 Februari 2020, para pemimpin dan pemuka agama menggelar Seminar sehari mendiskusikan isi Deklarasi itu.
Menurut Uskup Leo Laba Ladjar,OFM, komitmen yang dibangun bersama antara dua pemimpin umat beragama Paus Fransiskus dan Syeikh Ahmad Al-Tayyeb menyatakan bahwa kedua belah pihak, kaum Muslim dan Umat Katolik menerima budaya dialog sebagai jalan mewujudkan nilai-nilai luhur yakni: kebebasan, keadilan dan belas kasih. Kepada kaum intelektual, tokoh agama, budayawan dan penggiat media, diserukan untuk menemukan kembali nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebaikan, keindahan, persaudaraan manusia dan hidup berdampingan.
Tokoh Muslim Papua, Dr Eko Siswanto, MHI pada seminar sehari itu mengatakan, persaudaraan dibangun atas dasar kepentingan bersama untuk mewujudkan Papua Tanah Damai.
“Mewujudkan kerukunan dalam kebhinekaan tidaklah mudah. Maka dibutuhkan kerjasama nyata untuk kebaikan bersama,” kata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Papua itu.
Prinsipnya, lanjut staf pengajar IAIN Fattahul Mulk, di Papua, kita membangun satu kondisi hidup bersama yang pluralis, tidak saling mempersalahkan dan mengakui bahwa kita memang berbeda tetapi tetap satu dalam kehidupan bersama.
Kecurigaan harus hilang di antara kita sembari terus membangun hubungan antaragama dengan menjauhi suasana disharmoni antarpemeluk agama. “Papua patut bersyukur, tidak terjadi konflik antaragama di Bumi Cenderawasih ini. Hal yang baik ini kurang dipublikasikan sehingga dunia tidak mengetahui bahwa di tanah ini kerukunan hidup antarumat beragama terus dirajut dengan baik dari hari ke hari,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum FKUB Provinsi Papua, Pdt Lypius Biniluk berpendapat bahwa membangun perdamaian bersama membutuhkan komunikasi yang terus-menerus tanpa kenal lelah. “Terimakasih atas kepedulian anda semua untuk mengupayakan perdamaian di Papua bahkan seluruh Indonesia dan seluruh dunia,” kata Lypius.
Kita semua tentu masih memiliki sejuta ceritera sukses dan akan terus membuat sejuta ceritera sukses lainnya sebagai bagian integral dari perwujudan Ukhwah Insaniyah dan Ukhwah Wathaniyah di Tanah Papua dan Persada Indonesia!
Selamat Idul Fitri 1441 H – Mohon Maaf Lahir & Batin!
*Peter Tukan: Wartawan aktif 1980-2010