Oleh: Peter Tukan*
KENYATAAN hari ini adalah, Papua itu masih sebagai daerah konflik dalam berbagai dimensinya, yakni konflik politik, hukum, HAM, Kamtibmas, Hankamnas dan sebagainya! Hal ini tidak boleh kita ingkari, dan karena merupakan wilayah konflik, maka orang harus menjaga kejujuran “kata dan perbuatan”; jangan sampai “Air mudik, semua teluk diramai – Bertindak dan berbicara dengan sesuka hati, tanpa memperhitungkan apa yang terjadi”.
Di daerah konflik, orang harus berbicara dan bertindak dengan sikap kehati-hatian, penuh hikmat kebijaksanaan agar tidak sampai menimbulkan masalah baru atau semakin memperumit masalah (luka) lama!
Pada akhir-akhir ini, perasaan cemas dan was-was melanda banyak orang yng bermukim di Tanah Papua. Pertanyaannya adalah, apakah kecemasan ini karena merebaknya pandemi Covid-19 yang mematikan itu, ataukah akibat sesuatu yang lain, yang tidak terungkap ke permukaan lautan pergaulan hidup bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara?
Orang bijak mengatakan : jangan mengira air yang tenang itu tidak ada buayanya! “Buaya” yang sedang berdiam diri di dalam kolam yang tenang itu adalah: dampak buruk dari tindakan seseorang atau kelompok orang tertentu yang punya tujuan tertentu, yang secara masif memanfaatkan kemiskinan, keterbelakangan dan keluguan masyarakat asli Papua (terutama yang bermukin di kampung-kampung terpencil) untuk memisahkan anak-anak mereka dari keluarga inti dan dari rumah sukunya. Itulah “buaya”!
“Buaya” ini apabila tidak segera ditangani maka akan berdampak buruk bagi Indonesia yakni tumbangnya pilar-pilar keutuhan Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemiskinan Papua
Ceritera miris dan bukan merupakan sebuah berita bohon (hoax) adalah bahwa banyak warga masyarakat asli Papua terutama yang bermukim di puncak-puncak bukit dan gunung, berdiam di lembah dan ngarai, pulau-pulau terpencil dan terluar, pesisir pantai dan danau – hingga hari ini masih hidup dalam cengkeraman kemiskinan absolut, keterbelakangan, kurangnya pendidikan dan ketidakadilan sosial. Ini bukanlah cerita bohong tetapi fakta!
Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga hari ini, Pemerintah, jajaran TNI-Polri serta semua komponen Negara lainnya terus berjibaku-bergotong royong mempersempit jurang kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakadilan itu, namun apabila masyarakat sipil sendiri bersikap tidak mau tahu alias “menutup mata” dengan persoalan kemiskinan dan ketidakadilan itu, maka cepat atau lambat “buaya” itu akan balik menerkam dan memorakporandakan pilar-pilar persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Patut diketahui bahwa, gagasan besar untuk menanggulangi “penyakit” kronis kemiskinan dan keterbelakangan di Papua bukanlah hal baru yang dikumandangkan hari ini. Pada 17 Mei 1995, Prof.DR Mubyarto yang ketika itu menjabat Asisten Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Peningkatan Pemerataan dan Penanggulangan Kemiskinan telah memberikan gagasan sangat cemerlang tentang “Penanggulangan Kemiskinan Melalui Program Inpres Desa Tertinggal di Irian Jaya”.
“Irian Jaya adalah kawasan dengan tantangan pembangunan paling mendesak bagi Indonesia yang perlu segera diatasi. Ciri-ciri kampung atau desa yang tergolong miskin dan tertinggal parah antara lain yang utama adalah aksesibilitas yang rendah, ekonomi pasar yang belum berkembang, dan tingkat pendidikan rata-rata penduduk yang rendah,” tulis Prof.Mubyarto.
Lebih lanjut Mubyarto mengatakan, lemahnya daya saing penduduk asli akan menyebabkan mereka tertinggal dalam pembangunan ekonominya dibadingkan dengan penduduk pendatang. Dalam jangka panjang, terjadinya kepincangan ekonomi di antara kelompok-kelompok masyarakat, akan menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara republik Indonesia.
Hal yang akan terus memantapkan rasa `persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa adalah adanya perasaan senasib-sepenanggungan sebagai suatu bangsa. Perasaan senasib itu akan berkembang apabila semua orang merasakan bahwa mereka mendapatkan bagian yang layak dari kue kemajuan pembangunan.
Mubyarto berpendapat lagi bahwa rendahnya tingkat pendidikan semakin membuat masyarakat asli Irian Jaya terjerumus ke dalam lembah kemskinan yang mencekam.
“Pengembangan bidang pendidikan merupakan prioritas mendesak lainnya untuk Irian Jaya. Hanya membangun jalan tembus Jayapura – Wamena – Merauke saja, tidak akan segera mengatasi ketertinggalan pembangunan ekonomi secara menyeluruh di irian Jaya apabila, pendidikan masyarakatnya tidak ditingkatkan,” tulis Prof.Mubyarto.
Prof.Mubyarto jauh-jauh hari telah mengingatkan agar dalam proses pengentasan kemiskinan di Irian Jaya, bangsa dan Negara Republik Indonesia sekali-kali tidak boleh mengabaikan peran Gereja (Protestan dan Katolik). Suara Kenabian Gereja yang disampaikan secara jujur berdasarkan jeritan rakyat miskin yang jujur - dikuatkan oleh permenungan (refleksi) yang mendalam, disinari Cahaya Ilahi haruslah menjadi pedoman dalam pengentasan kemiskinan itu sendiri.
“Peranan Gereja yang dilaksanakan secara jujur dan benar dalam seluruh proses pembangunan di Irian Jaya merupakan faktor sangat penting yang tidak boleh diabaikan,” tulis Mubyarto mengingatkan!
Pemisahan anak dari keluarga inti
Apa yang disampaikan Prof.Mubyarto pada 20 tahun silam (1995-2020), masih juga terjadi pada hari ini. Dan di dalam siatuasi kemiskinan yang mencekam itu, masih juga ada orang atau kelompok orang tertentu yang dengan tujuan tertentu memanfaatkan kemiskinan, rendahnya pendidikan dan ketertinggalan lainnya itu, untuk memisahkan anak-anak dari keluarga intinya. Pemisahan itu dilakukan dengan berbagai alasan yang sengaja dicari-cari dan diusahakan masuk di akal sehat, sehingga tidak menimbulkan konflik dan kekerasan baru di atas Tanah Papua.
Sudah bukan merupakan rahasia lagi atau telah menjadi rahasia umum, bahwa tindakan memisahkan anak-anak asli Papua dari keluarga inti dan sukunya telah terjadi secara masif di wilayah Papua bagian Selatan, padahal pemisahan anak-anak dari orangtuanya (keluarga inti) dengan tujuan tertentu yang tersembunyi itu dapat diduga sebagai sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) zaman ini.
Tragedi kemanusiaan pemisahan anak-anak asli Papua dari keluarga inti dan rumah sukunya itu telah menjadi perhatian dan keprihatinan masyarakat asli Papua dan terus-menerus pula menjadi bahan perbincangan sangat serius di antara para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua. Hampir setiap kali pertemuan para pemimpin Gereja-gereja, baik pertemuan tidak formal maupun pertemuan formal di dalam Forum Komunikasi dan Kerjasama antara Pemimpin-pemimpin Gereja di Papua yang dinamakan “Persekutuan Gereja-gereja di Papua” (PGGP) permasalahan sangat krusial ini terus diperbincangkan.
Para pemimpin Gereja-gereja itu sangat mengetahui tragedi kemanusiaan ini dan mereka memiliki data dan bukti sangat kuat terkait tragedi kemanuisiaan itu, namun mereka menyimpannya di dalam Hati. Hati-hati jika mereka secara kompak “menyimpan semuanya itu di dalam Hati ketika mereka dalam tugas pengembalaan umatnya, bertindak sebagai “Bunda Gereja” yang memangku putra-putrinya yang dikasihnya tengah menderita. Mereka telah menjadi “Mater Dolorosa” – Bunda yang berduka cita karena anak-anaknya telah menjadi korban tragedi kemanusiaan itu. Inilah sebuah “Memoria Pasionis” yang tak terlupakan sepanjang ziarah hidup dan karya perutusannya di Tanah Papua.
Patut diketahui bahwa PGGP dibentuk pada 31 Mei 2002 yang beranggotakan: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) wilayah Papua, Persekutuan Injili Indonesia (PII) Perwakilan Papua, Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) Provinsi Papua dan Gereja Katolik Keuskupan Jayapura (Baca: Uskup Leo Laba Ladjar,OFM dalam “ Membangun Papua Tanah Damai” 2009, Hal.89-102).
Tragedi pemisahan anak-anak dari orangtua kandung dan sukunya ini, oleh kelompok orang yang memiliki haluan politik yang berbeda dengan Bangsa dan Negara Indonesia telah dimanfaatkan untuk mempropagandakan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Hal inilah yang sangat sering tidak diperhitungkan secara hati-hati dan bijaksana oleh kelompok masyarakat sipil tertentu di Tanah Air Indonesia tercinta ini ketika mereka bermigrasi ke Tanah Papua memasuki kampung-kampung terpencil dan terisolasi mendatangi keluarga-keluarga misikn dan terbelakang untuk memisahkan anak-anak dari orangtua dan sukunya.
Kasus memisahkan anak-anak dari keluarga inti dan suku aslinya (mungkin memiliki maksud baik dan mulia) sudah dijadikan “senjata ampuh” untuk menyerang kedaulatan Indonesia atas Tanah Papua dari sudut Hak Asasi Manusia. Masyarakat sipil Indonesia harus menyadari bahwa kasus lama dan kronis di Papua belum dituntaskan, sementara kita justru membuat kasus baru yang lebih rumit lagi!
Kasus memisahkan anak-anak dari orangtua dan rumah suku aslinya itu, kini bukan lagi merupakan sebuah kabar bohong (hoax) tetapi fakta. Dengan berkembangnya teknologi informasi yang begitu pesatnya, seseorang atau kelompok orang dengan begitu mudahnya membuat foto-foto dokumentasi tindakan memisahkan anak-anak dari suku aslinya di Tanah Papua. Mungkin saja, pemisahan itu bermaksud baik namun dapat dipolitisir untuk tujuan politik tertentu.
Kemiskinan orangtua di rumah dan suku besarnya menyebabkan orangtua sendiri tidak mampu menghidupi anak-anaknya, juga tidak mampu menyekolahkan anak-anak. Situasi tragis ini dimanfaatkan sedemikian rupa oleh orang atau kelompok orang tertentu untuk memisahkan anak-anak dari keluarga inti dan suku aslinya untuk pergi ke suatu “negeri antah-berantah” yang belum tahu nasib dan masa depan anak-anak tersebut.
Konvensi Hak Anak PBB
Pada tahun 1990, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Konsekuensinya, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk semaksimal mungkin berupaya memenuhi hak-hak anak di Indonesia. Bahkan, bila perlu, dengan mengadakan kerjasama bilateral atau multilateral sebagaimana dinyatakan oleh Konvensi. Tetapi, dalam kenyataannya, kondisi anak-anak di Indonesia masih memrihatinkan.
Terkait prinsipi-prinsip umum Konvensi Hak Anak, Komite Hak Anak PBB merumuskan empat prinsip umum Konvensi Hak Anak, antara lain menyatakan bahwa yang terbaik bagi anak (best interest of the child) Pasal 3 ayat 1 menyatakan: “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial, pemerintah maupun swasta... kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”. Pasal- pasal yang terkait dengan prinsip itu adalah: pasal 9 (1) dan (3) mengenai pemisahan anak dari orangtuanya; pasal 18 mengenai tanggungjawab orangtua; pasal 20 mengenai anak yang kehilangan lingkungan keluarganya, baik secara tetap maupun sementara.
Tidak ketinggalan, menyangkut prinsip perkembangan anak dimana hal-hal yang harus diperhatikan adalah pasal 24: perkembangan moral dan spiritual; pasal 20 terkait anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan pasal 30 dan 31 mengenai perkembangan budaya anak tersebut.
Jika semua menyadari bahwa Tanah Papua saat ini bukanlah selembar kertas putih dan bukan pula merupakan tanah yang tidak (belum) bertuan, maka tragedi kemanusiaan pemisahan anak dari keluarga inti dan rumah sukunya di Tanah Papua ini sudah merupakan sebuah “lampu kuning” – peringatan sangat berbahaya bagi penagakkan Konvensi Hak Anak yang dilahirkan PBB itu.
Dari 31 Hak Anak dalam Konvensi Hak Anak PBB, tercantum secara sangat terang-benderang Hak anak untuk mendapatkan perlindungan khusus jika mengalami eksploitasi sebagai anggota masyarakat adat; Hak untuk hidup dengan orangtua; Hak untuk tetap berhubungan dengan orangtua bila dipisahkan dari salah satu orangtua, Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni dan budaya; Hak untuk bebas beragama.
Kemiskinan, keterbelakangan dan rendahnya pendidikan menyebabkan masyarakat asli Papua kalah bersaing atau terjerumus ke dalam kekalahan persaingan yang tidak seimbang di hampir semua bidang kehidupan di atas tanah leluhurnya sendiri.
Menyadari akan semua itulah, maka para pemimpin Gereja-gereja (Protestan dan Katolik) di Tanah Papua tidak henti-hentinya dan tidak bosan-bosannya mengingatkan semua pihak agar menghormati Hak-hak dasar masyarakat asli Papua.
Para Pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua yaitu Uskup Keuskupan Agung Merauke, Uskup Jayapura, Uskup Manokwari-Sorong, Uskup Agats dan Uskup Timika, pada 8 Agustus 2018 dengan sangat berani menyampaikan “Suara Gembala” yang pertama-tama ditujukan kepada semua umat Katolik dan menyusul kepada semua orang (siapa saja) yang berkehendak baik di Tanah Papua dan dimana saja berada, agar benar-benar menghormati hak-hak dasar orang asli Papua demi Papua yang Damai dan Sejahtera!
“Migrasi penduduk yang masuk ke Papua amat besar dan tidak terkendali. Penambahan penduduk dalam jumlah besar dari luar Papua menciptakan persaingan yang tidak seimbang. Bagaimana mengatasi kepincangan itu? Tentu saja tidak pada tempatnya hanya mengejek dan menggerutu bahwa mereka itu malas, bodoh, terbelakang dan berbagai stigma lainnya,” tulis para Uskup di dalam dokumen berjudul :”Dalam Terang Iman- Marilah Membangun Papua yang Damai dan Sejahtera” itu.
Lebih lanjut para Uskup itu berkata dengan lantang, hal yang mereka (masyarakat asli Papua) butuhkan adalah perlindungan yang nyata dan dukungan yang tegas dari penyelenggara pemerintahan.
“Warga masyarakat Papua, seperti warga negara pada umumnya, berhak memperoleh perlindungan atas hak-hak asasinya, antara lain hak atas kehidupan yang layak, hak untuk hidup sehat dan untuk memperoleh pendidikan yang baik. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan sering diangkat sebagai senjata untuk menuntut pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal-hal itu menjadi sepertti duri dalam daging karena menyebarkan sikap sinis dan tidak percaya terhadap Otoniomi Khusus dan tentu saja menghambat gairah pembangunan,” kata para Uskup se-Tanah Papua.
Dari apa yang dikatakan para Uskup tersebut, kita lantas memahami bahwa Rekonsiliasi dan Damai di Tanah Papua yang didengung-dengungkan selama ini, tidak akan bisa terwujud kalau tidak ada kesungguhan berbagai pihak untuk menghormati Hak Asasi Manusia, berpihak pada kaum miskin dan yang tertindas serta terpinggirkan yang hampir selalu kalah dalam persingan global dan menjadi korban kemajuan zaman.
Terkait pemisahan anak-anak asli Papua dari keluarga inti dan rumah sukunya yang marak terjadi terutama di wilayah Papua bagian Selatan, semua pihak harus dapat “menahan diri” agar tidak terjadi masalah baru atau membuat masalah (luka) lama semakin sulit diselesaikan atau disembuhkan. Mustahil kita mengharapkan hanya kepada TNI dan Polri saja untuk mempertahankan tegaknya pilar keutuhan Papua di dalam NKRI tanpa partisipasi aktif dan menyeluruh dari masyarakat sipil itu sendiri.
Senjata api, busur dan panah tidak akan dapat menyelesaikan masalah krusial, namun sikap menahan diri, tahu diri dan pandai membawa diri merupakan senjata paling ampuh untuk meredahkan konflik dan kekerasan di Tanah Papua. Apa yang dapat dilakukan di daerah lain – belum tentu dapat diterima oleh masyarakat di daerah sini. Kebhinekaan tidak berarti keekaan. Keberagaman tidak sama dengan keseragaman!
Pemisahan anak-anak asli Papua dari orangtuanya dan sukunya yang sudah lama terjadi di Tanah Papua dapat saja digadang-gadang sebagai sebuah pelangaran HAM di Papua. Hal ini dapat memunculkan kerusuhan dan kekerasan baru. Kerusuhan dan kekerasan yang terjadi disebabkan oleh akumulasi berbagai masalah (termasuk pemisahan anak dari keluarga inti dan sukunya) yang tidak mendapat penyelesaian yang baik, mendalam dan menyeluruh!
Wakil Gubernur Aceh yang juga Ketua Umum Partai Aceh, Muzakir Manaf, di hadapan sejumlah pengusaha jasa konstruksi Aceh pada Selasa, 21 Januari 2014 mengatakan :”Aceh itu seperti putri cantik, semua orang ingin mendapatkannya. Namun, terlalu banyak buaya darat di sini,” ucap Muzakir. (Kompas, 30/1 2014).
Sepertinya, di Papua terdapat dua jenis “buaya”, ada “buaya” bernama dampak kemiskinan dan keterbelakangan yang terbaring di dalam air yang tenang bersiap berbalik menyerang dan memangsa kita, juga ada “buaya” bernama kerakusan dan ketamakan (memisahkan anak dari keluarga inti) yang mau makan dan mencaplok segala!
Lebih baik konflik dari pada damai yang semu. Konflik memang perlu. Rekonsiliasi memang sangat mahal!