Warga Netar Keluhkan Limbah Pengolahan Material Pembangunan Stadion Papua Bangkit

Tampak salah satu warga menunjukan limbah dari tempat pengolahan material untuk pembangunan stadion papua bangkit yang dibuang ke sungai/Fendi

SENTANI,-Puluhan Kepala Keluarga yang bermukim di Kampung Netar, Distrik Sentani Timur mulai mengeluhkan tercemarnya air sungai dan danau yang diduga akibat pembuangan limbah tempat pengolahan material untuk pembangunan Stadion Papua Bangkit.

Menurut Ketua RW 03 Kampung Netar, Karel Wally, pencemaran ini sudah terjadi sejak tahun 2017 lalu, saat pembangunan tempat pengolahan material untuk pembangunan Stadion Papua Bangkit mulai beroperasi.

“Ini sudah berlangsung sejak bulan Juni 2017, tinggal dua bulan lagi genap 1 tahun. Jadi sejak awal kerja, kita sudah mulai rasa dampaknya tidak baik bagi warga,"kata Karel kepada wartaplus.com, selasa (17/4) sore.

Dikatakan, akibat pencemaran tersebut, pihaknya sudah meminta agar pengolahan material perlu diperhatikan agar sesuai dengan aturan, namun permintaan warga tidak digubris. Malahan warga ditawarkan uang sebagai kompensasi, namun ditolak oleh warga dengan alasan kesehatan lebih penting.

"Saya sudah sampaikan ke perusahaan bahwa ini berbahaya bagi kesehatan masyarakat sekitar, tapi malah saya ditanya mau berapa (dana) yang diminta. Tapi saya tolak karena ini jelas menyalahi aturan undang-undang. Apalagi pencemaran inikan berdampak langsung ke kami, bahkan sudah sampai ke danau Sentani,” jelasnya.

“Jadi saya lihat pembungan limbah ini tidak melalui satu proses penyaringan, tapi langsung saja semua limbah dibuang ke sungai dan masuk ke danau,”tambahnya.

Lanjut Karel, akibat pembuangan limbah ke sungai yang berujung masuk ke danau, menyebabkan sejumlah penyakit bagi warga, seperti penyakit kulit, sesak napas dan juga batuk.

“Jadi limbah yang masuk ke sungai menimbulkan dampak yang tidak bagus bagi warga, karena kalau mandi mereka merasa gatal, bahkan anak saya sudah kena penyakit kulit, bahkan batuk sampai kerongkongan kering karena debu yang ditimbulkan,” bebernya.

Hal senada disampaikan oleh Marice Suebu, yang mengaku bahwa sejak tempat pengolahan material didirikan perumahan warga selalu tertutup dengan debu yang ditimbulkan, sehingga masyarakat jarang mendapatkan udara yang bersih, karena tempat pengolahan material beroperasi 24 jam.

“Inikan beroperasi 24 jam, jadi kami disini tidak pernah hirup udara segar. Belum lagi sudah ada penyakit yang mulai menyerang anak-anak dan orang dewasa seperti batuk dan gatal-gatal,” jelasnya.

Sementara itu, warga lainnya, Vivia Suebu, menyampaikan bahwa keberadaan tempat pengolahan material juga menyebabkan warga susah tidur, karena sering terdengar ledakan-ledakan besar yang berasal dari tempat pengolahan material tersebut.

“Sering terdengar ledakan besar dari dalam saat jam tidur, akibatnya kita terganggu, bahkan ada beberapa tanaman kami mati karena tertutup debu,” katanya.

Bahkan kata vivie, piring yang sudah bersih sekalipun harus dicuci lagi sebelum digunakan untuk makan, karena semuanya penuh dengan debu yang berasal dari tempat pengolahan material.

“Air yang sudah kita masak juga harus menunggu sampai pasir ataupun debunya tenggelam baru kita minum,” tandasnya.*