Memoar Piala Dunia Romantisme 1998

Karl Karoluz Wagab Meak/Istimewa

Oleh: Karl Karoluz Wagab Meak

Perkenalan pertama saya dengan piala dunia, terjadi di Tahun 1994. Tak banyak moment yang terekam dalam ingatan masa kecil waktu itu. Satu-satunya yang teringat dari moment itu adalah Roberto Baggio. Ia lekat dalam ingatan, itupun karena buku tulis matematika saya bergambar wajahnya. 

Mungkin masih terlalu kecil untuk memahami dunia, semua seakan terjadi sepintas. Belakangan, saya baru menyadari, ternyata Baggio adalah pemain yang gagal menendang pinalti ketika pertandingan final, antara Italia melawan Brasil. Kegagalannya itu membuat Brasil akhirnya menjadi juara untuk keempat kalinya.

Waktu itu saya kelas dua SD. Kira-kira berumur lima atau enam tahun. Saya tinggal di kampung, sedikit jauh dari kota. Di kampung, di tahun 1994, tidak banyak orang yang bercerita tentang sepakbola, apalagi piala dunia. Kalaupun ada, itu karena mendengarkan berita olahraga di radio. 

Orang-orang di kampung jarang membicarakan sepakbola, tetapi hampir semua bisa bermain bola dengan baik, dan biasa (setiap hari) bermain bola. Berbeda dengan saat ini, banyak orang berbicara sepak bola tetapi malas bahkan tidak bisa bermain bola. 

Saat itu, waktu di kampung, televisi (warna) jarang. Semacam menjadi barang mewah, dan sangat langka. Dirumah kami memilikinya. Tapi kami bukan pemilik satu-satunya di kampung. Hanya ada tiga rumah, kami salah satunya. 

Setelah 1994. Euforia sedikit berbeda ketika Piala Dunia tahun 1998. Di kampung, orang-orang sudah mulai memasukan topik sepakbola dunia dalam diskusi atau perbincangan mereka. Mereka berbicara tentang tim dan pemain idola dari setiap tim yang berlaga. 

Saya pikir, inilah awal, orang-orang kampung mulai memilih tim favorit mereka. Jauh seperti cara saat ini, dulu tak ada bendera yang dipajang di halaman rumah. Orang kampung merayakan piala dunia dengan sangat sederhana, mereka memilih mengekspresikannya di lapangan saat mereka bermain. 

Bahkan dengan mudah, ketika bermain bola, beberapa orang mengasosiasikan dirinya dengan pemain tertentu. Mereka menganggap bahwa gaya bermain mereka mirip dengan pemain yang disaksikan di televisi. Atau, ada juga yang berusaha mengikuti gaya bermain sang idola. Itu hal wajar, gairah orang bermain bola akhirnya meningkat. Masing-masing ingin membuktikan dirinya.

Pengasosiasian seperti itu, diikuti dengan kecenderungan lain, yaitu perubahan nama asli. Beto misalnya, mengganti nama, lalu akhirnya mengkultuskan dirinya sendiri menjadi Bebeto. Atau Manu, yang kemudian ingin dipanggil Petit. Denis, selalu ingin dipanggil Denilson. Dan, Ronald yang akhirnya  memilih nama Ronaldo untuk selamanya. 

Saya menyaksikan pertandingan piala dunia pertama secara live, di kampung pada tahun 1998. Waktu itu pertandingan antara tuan rumah Perancis versus Italia. Saya masih ingat, saya menyaksikan bagaimana Perancis berhasil menang 4-3 melalui adu pinalti. Saya masih ingat jersey Perancis, ada tiga garis horizontal dibagian depan.

Pertandingan kedua yang saya saksikan adalah pertandingan antara Brasil melawan Belanda. Disitu untuk pertama kalinya saya jatuh cinta kepada Tim Samba. Saya suka bagaimana Ronaldo bermain melewati pemain lawan. Bagaimana dia menari-nari dengan bola yang kemudian disebut gaya jogo bonito. Alasan kedua sederhana, saya mengagumi Ronaldo karena “gigi” nya. Giginya mirip dengan saya. Kami sama-sama bergigi kelinci. 

Ditahun yang sama, saya akhirnya memiliki sebuah kostum Brasil, namun dari saman Pele. Baju itu dibeli oleh kakak saya ketika berlibur ke Makassar. Dia membeli bersama dengan se-pak buku tulis bergambar pemain Brasil. 

Pertandingan final antara Perancis tidak sempat saya nonton karena ketiduran. Beberapa minggu ketika ke kota, saya melihat gambar Ronaldo disebuah koran dengan skor 3-0 untuk Perancis. Saya meminta Bapak saya membeli koran itu. Saya akhirnya sedih karena Ronaldo gagal membawa Brasil menjuarai piala dunia. 

Tidak seperti piala dunia 1994. Di piala dunia Perancis, saya mengingat hampir sejumlah hal. Lambang piala dunia misalnya. Sebuah bola menyerupai bintang, bergulir diatas, setengah lapangan yang membundar, yang bisa juga dimaknai sebagai bumi. Diikuti tulisan “Coupa de Mondo 98”.

Selain itu, ada juga,  “Go,go,go, Ale-ale-ale. Go,go,go, Ale-ale-ale”, tembang piala dunia 98 yang dinyanyikan oleh Ricky Martin, yang judulnya sangat terkenal waktu itu,  yaitu “La Copa de la Vida”.

La Copa de la Vida adalah persentuhan bahasa Perancis pertama saya, selain bahasa Inggris. Sedangkan, “Go,go,go, Ale-ale-ale. Go,go,go, Ale-ale-ale” adalah hymne  bagi kami ketika pertandingan antar kampung dilaksanakan. Semua orang akan bernyanyi, “Go,go,go, Ale-ale. Go,go,go, Ale-ale”, ketika timnya menang. 

Ingatan tentang piala dunia 1998 sesungguhnya ingatan tentang masa kecil. Jika mengenang Perancis 1998, sesungguhnya saya mengenang kembali kampung dan masa kecil saya. 

Setelah Romantisme 1998

Di tahun 2002 saya menyaksikan Ronaldo memborong dua gol ke gawang Oliver Khan pada partai final. Ia menjadi top scorer, Sedangkan Brasil juara untuk kelima kalinya. Besoknya, saya mengunduli rambut saya mengikuti gaya rambutnya Ronaldo. 

Di tahun 2006, untuk pertama kalinya saya sedih ketika Thierry Henry mencetak gol ke gawang Brasil yang dijaga Dida. 2010 saya sedih untuk kedua kalinya ketika Belanda mengalah Brasil di perempat final. Dan akhirnya, 2014 saya menangis disebuah kamar hotel di Kota Sorong, ketika melihat Brasil di kalahkan Jerman 7-1. 

2018, tidak terasa saya sudah jauh dari masa kecil 98, jauh dari kampung. Asa tetap terjaga, berharap Brasil kembali juara. 

Piala dunia tetaplah piala dunia. Kita mencintai tim kita karena banyak alasan. Walaupun sebagian, membencinya dengan sebagian alasan. 

Piala dunia, tetaplah piala dunia.  Kita memulainya ketika kecil, mungkin sekarang kita telah dewasa, atau telah menjadi seorang ayah karena telah melewati beberapa episode piala dunia. 

Jika kelak menjadi ayah, saya akan mengajak anak saya menonton dan menghabiskan setiap pertandingan bersamanya. Saya akan menceritakan piala dunia 1994 yang sepi itu. Dilanjutkan dengan perjumpaan dengan tim idola saya di tahun 1998.

Saya akan bercerita tentang masa kecil dulu di kampung. Saya akan mengajarinya tumbuh, dan mencintai sebuah tim karena dia memang mencintainya, bukan karena alasan agama atau ras.  Lalu kelak, berharap ketika anak saya dewasa, dia akan melakukan hal yang sama untuk anaknya.*