Gubernur Soedarmo Menyayangkan PRP Tidak Beroperasi

Aksi demo karyawan PRP yang di PHK/Istimewa

JAYAPURA,-Gedung Percetakan Rakyat Papua (PRP) yang dibiarkan terbengkalai setelah tidak lagi beroperasi mendapat sorotan dari Penjabat Gubernur Papua, Soedarmo.

 
Dia sangat menyayangkan. Pasalnya, gedung beserta fasilitas didalamnya dibangun dari uang negara melalui dana APBD Provinsi Papua
 
Soedarmo menuding kondisi ini terjadi akibat direksi dan managemen perusahaan yang tidak bekerja secara profesional, dan hanya mementingkan diri sendiri.
 
"Sudah banyak pegawai PRP yang menuntut kepada saya untuk minta gaji. Kenapa bisa seperti itu? karena orang-orang yang ada didalam tidak profesional," ujarnya kepada pers di Jayapura sepekan lalu.

Ia katakan, setiap anggaran yang diberikan kepada perusahaan daerah adalah uang milik rakyat dan negara, sehingga harus dipertanggungjawabkan.

"Uang itu bukan untuk foya-foya, coba bayangkan sudah berapa banyak anggaran yang dukucurkan pemerintah," ujarnya.

Menurut Soedarmo, jika berbicara soal perusahaan, maka yang dibicarakan hanyalah soal untung dan rugi tidak ada yang lain.
 
Dia mencontohkan seperti kasus bank Papua pernah nyaris pailit. Namun beruntung segera dapat dibereskan setelah mendapat pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Sebelumnya hancur untung cepat diberesi. Jadi kami harap apa yang dialami PRP bisa menjadi pelajaran bagi perusahaan daerah lainnya yang ada di Papua," harapnya.

Dia menambahkan, setiap perusahaan daerah wajib memberikan keuntungan. Oleh karenanya dibutuhkan komitmen dan inovasi setiap jajaran direksi dalam menjalankan tugas.
 
Percetakan Rakyat Papua merupakan salah satu BUMD yang bergerak di bidang usaha percetakan. PRP secara resmi beroperasi pada 28 Desember 2011, dengan bermodalkan subsidi dari pemerintah daerah sebesar Rp75 miliar. Namun sayangnya sejak tahun pertama beroperasi, PRP dibawah pimpinan Direktur Utama, Aristoteles Waimuri merugi yang berbuntut pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejumlah karyawan. Meski telah dilakukan pergantian pimpinan dan direksi namun tidak dapat merubah kondisi perusahaan yang terus merugi sehingga berdampak pada tidak dibayarnya gaji para karyawan hingga akhirnya dinyatakan ditutup oleh pemerintah Papua.*