PMKRI Nyatakan Sikap Terkait Aksi Terorisme dan RUU Tindak Pidana Terorisme

Aksi 1000 lilin di Abepura sebagai tanda duka dan mengutuk aksi-aksi teroris di Indonesia/Istimewa

JAYAPURA,-Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Sanctus Thomas Aquinas Periode 2018-2020 turut berbelasungkawa atas beberapa peristiwa tindak terorisme yang baru-baru ini terjadi. 

PMKRI juga mengutuk keras aksi teror itu dan meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh situasi, tetap menjaga persatuan untuk menangkal radikalisme dan terorisme.

Juventus Prima Yoris Kago, selaku Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas periode 2018-2020 berharap agar pemerintah dan pihak kepolisian segera mengusut tuntas pelaku teror dan di atas segalanya melakukan pemberantasan terhadap tindakan teror demi memastikan dan menjamin keamanan nasional seluruh Warga Negara Indonesia. 

"Beberapa peristiwa teror yang terjadi seminggu ini merupakan tanda bahwa Negara lemah dan tidak hadir, aparat keamanan lalai dan abai sehingga menyebabkan tindakan yang merenggut nyawa itu terjadi," ujarnya, dalam rilis yang diterima wartaplus.com, Sabtu (16/5) pagi.

Terkait wacana pengesahan RUU tindak pidana terorisme, PP PMKRI memiliki sejumlah pandangan terhadap RUU tindak pidana terorisme yakni, terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian dunia sekarang ini terutama di Indonesia. Karena teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah, maka tidak heran apabila terorisme dikaitkan sebagai perbuatan pidana maka memiliki kaitan antara delik politik dan delik kekerasan, sehingga sangat lazim pandangan mengenai terorisme bersifat subjektif.

"Dalam mengupayakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga dari tindak kejahatan terorisme maka pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu diawali dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian pada 2 tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang RI dengan Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," jelasnya.

Kata dia, Peristiwa teror yang terjadi di sejumlah tempat di Depok, Surabaya, Sidoarjo dan Pekanbaru itu, memunculkan wacana pengesahan RUU Tindak PidanaTerorisme menjadi Undang-undang Tindak Pidana Terorisme. Ditambah dengan ultimatum dari Presiden Joko Widodo yang memberi batasan kepada DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-undang paling lambat tanggal 18 Mei 2018, apabila tidak disahkan maka akan dikeluarkan Perppu terkait hal di atas.

"Terdapat kesan yang kuat bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan legal formal dan represif dalam menangani masalah terorisme di tanah air. Indikasi ini diperkuat dengan bersemangatnya pemerintah mengeluarkan draft RUU Terorisme dengan melibatkan TNI di dalamnya. Akuntabilitas penanganan terorisme dengan melibatkan TNI bertolak belakang dengan sistem penegakan hukum,"ujarnya.

Tambahnya, kewenangan TNI dalam memerangi terorisme sudah diatur dalam UU Pertahanan Negara dan UU TNI, sehingga tidak perlu diatur lagi dalam revisi UU terorisme. Militer itu aktor yang berbeda dan bukan bagian aparat penegak hukum. Itu akan menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum dan berpotensi pelanggaran HAM. Olehnya pelibatan militer dalam memerangi terorisme, lebih baik diletakkan dalam koridor hukum pertahanan yaitu diatur dalam UU TNI dan bukan dalam UU Terorisme.

Terkait hal tersebut Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut;

1. Mendukung Pengesahan RUU Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang dengan dengan catatan:

a. HAM sebagai instrumen dasar  dalam Pembentukan Rancangan Undang-undang terorisme,

b. Memperkuat pasal-pasal yang berkaitan dengan tindakan pencegahan dini, pendeteksian terhadap setiap hal yang terindikasi mengarah ke aktivitas terorisme,

c. Menolak Keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme,

2. Menolak pembentukan Perppu Tindakan Pidana Terorisme dengan alasan:

a. Bahwa persoalan tindakan terorisme belum menjadi situasi genting secara nasional,

b. Bahwa payung hukum yang mengatur tindak pidana terorisme masih berlaku (UU No. 15 Tahun 2003) dan negara tidak mengalami kekosongan hukum,

c. Presiden tidak seharusnya gegabah dalam mengeluarkan Perppu.

3. Mendesak Kepolisian RI untuk meningkatkan profesionalitas kepolisian dalam penanganan tindak pidana terorisme.

4. Mendesak sinergisitas antara Lembaga Kepolisian (BNPT-Densus 88) dengan Badan Intelijen Negara (BIN).*