Titik Krusial Pencalonan Wakil Bupati Keerom

Logo Kabupaten Keerom
 

Oleh: Carlos Henriques

(Pemerhati sosial, politik dan sejarah perkembangan agama di Papua)

Proses pencalonan Wakil Bupati (Wabup) Kabupaten Keerom, Provinsi Papua kini memasuki titik sangat krusial jika tidak disikapi secara jujur dan arif bijaksana dapat memunculkan konflik di tengah masyarakat Keerom.

Setelah dilantiknya Muhammad Markum menjadi Bupati definitif Kabupaten Keerom pada tanggal 20 Februari 2018, Partai Golkar yang memiliki hak untuk menjaring dan mencalonkan Wabup baru pengganti Muh. Markum mulai bergulir.

Penjaringan dan pengusulan nama bakal Cawabup (Bacawabup) dimulai dari tingkat bawah yaitu dari DPD Partai Golkar Kabupaten Keerom. Dan Partai Golkar Keerom yang dipimpin Pltnya Paskalis Kossay menjaring 10 nama Bacawabup. Mereka itu adalah Piter Gusbager (ASN), Melensius Musui (ASN), Henry Borotian (ASN), Isaac Yunam (kader Golkar), Longginus Fatagor (kader Golkar), Herman Yoku (kader Golkar), Markus Gonay (kader Golkar), Hans Piter Sumuel (swasta), Ronald Apnawas (ASN), Paskalis Kossay (kader Golkar).

Ketika 10 nama ini akan disahkan untuk diusulkan ke DPD I Golkar Provinsi Papua, Paskalis Kossay mengundurkan diri. Konon kabarnya, Paskalis mundur dengan pertimbangan pribadi yakni dia ingin memberi kesempatan kepada calon putra asli Keerom untuk menjadi Wabup Keerom.

Mencermati nama dan asal-muasal Bacawabup ini maka dengan mata telanjang terang-benderang kita ketahui bahwa sejak tahap pertama, Golkar tidak memberikan persyaratan apakah para Bacawabup ini harus seorang kader Golkar atau tidak? Dan apakah para Bacawabup itu selama ini adalah mereka yang telah dan selalu berkontribusi kapada Golkar atau tidak, misalkan kontribusi finansial kepada Golkar.

Tetapi ‘terjun bebas’ dalam penjaringan sehingga akhirnya kita saksikan 10 nama Bacawabup itu, ada yang berasal dari kader Golkar dan ada pula yang bukan kader Golkar yaitu aparat sipil negara (ASN) dan bukan ASN. Sembilan nama ini akhirnya disaahkan dan dibawa ke DPD Partai Golkar Provinsi Papua.

Ketika nama Bacawabup ini diketahui seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Keerom maka rakyat, baik secara perorangan, kelompok, institusi seperti institusi agama dan adat ikut bersuara dan ikut menakar dan menimbang kualitas setiap Bacawabup itu.

Realitas membuktikan bahwa dua institusi yaitu adat dan agama bersuara sangat kencang terkait kualitas kepribadian dan kualitas intelektual setiap Bacawabup. Institusi ini pun memiliki sikap yang sama dengan sikap awal Partai Golkar Keerom yaitu tidak mempersyaratkan apakah bakal calon itu adalah kader Golkar atau apakah dia telah berkontribusi kepada partai.

Bagi dua lembaga yang sangat berpengaruh di Keerom yaitu Gereja Katolik dan Dewan Adat serta Lembaga Masyarakat Adat ternyata lebih mengutamakan rekam jejak kepribadian setiap calon, memberikan kesempatan kepada "anak Keerom" serta memperhatikan pertimbangan sejarah socio religi masyarakat asli Keerom yang dilestarikan sebelum Tanah Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Jika ingin Keerom menjadi baik dan maju ke hari esok maka kita harus berikan kesempatan kepada putra dan putri Keerom untuk memimpin dan tidak mengabaikan kesinambungan sejarah socio religi masyarakat asli Keerom," kata Pegiat HAM Papua, Pastor John Djonga.

Dalam perkembabgannya, terbetik berita bahwa DPD I Golkar Papua sudah memutuskan dan mengajukan tiga nama dari sembilan nama Bacawabup itu ke DPP Golkar di Jakarta untuk diputuskan oleh petinggi di partai berlambang Pohon Beringin ini.

Konon kabarnya, pada hari-hari ini sedang terjadi tarik ulur dalam proses pencalonan Bacawabup ini. DPD Golkar Papua punya pertimbangan sementara DPP Golkar pun punya pertimbangan yang sangat matang, tidak hanya tiga nama yang dibawa oleh DPD Golkar Provinsi tetapi juga enam nama lain yang sudah disaahkan DPD Golkar Keerom.

Pada beberapa hari terakhir ini terkuak kabar bahwa DPD Golkar Papua melirik dua kriteria yang lolos dari kriteria tingkat bawah yaitu kader dan kontribusi.

Hal yang akan menjadi persoalan krusial adalah jika DPD I Golkar Papua menempatkan persyaratan kader dan kontribusi, mengapa sejak awal penjaringan dan penyaringan, Golkar Keerom tidak mempersyaratkan kader dan kontribusi? Mengapa Golkar Keerom menjaring dan mensahkan sera mengusulkan ke DPD I Golkar Papua Bacawabup yang tidak hanya kader Golkar dan yang sudah berkontribusi tetapi mensyahkan dan mengusul figur yang berlatarbelakang bukan kader dan yang belum berkontribusi bagi partai?

Realitas politik di Keerom saat ini membuktikan bahwa begitu banyak orang, kelompok orang dan institusi berpegang pada 9 nama Bacawabup yang sudah diputuskan Golkar Keerom. Malahan sudah terjadi komitmen bersama untuk mempertahankan figur tertentu untuk menjadi Wakil Bupati Keerom.

Misionaris

Tanpa menghiraukan kader dan kontribusi, tetapi lebih kepada pertimbangan rekam jejak, kualitas kepribadian dan intelektualitas serta usulan Dewan Adat dan Lembaga Masyarakat Adat serta sejarah panjang perjalanan socio religi masyarakat asli Keerom yang sudah dimulai oleh para Misionaris Katolik sekitar tahun1901 sebelum Tanah Papua menjadi bagian integral dari NKRI.

Secara diam-diam telah terjadi "penumpukan" atau akumulasi komitmen kepada calon tertentu yang jika tidak dicermati secara arif bijaksana oleh Partai Golkar di tingkat provinsi hingga pusat akan berdampak buruk bagi keamanan wilayah perbatasan RI dengan Papua Nugini (PNG), Keberhasilan dan keamanan jalannya Pilkada Gubernur bulan Juni 2018, Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2019 mandatang.

Jika Golkar tidak bijaksana dalam menutuskan calon Wabup Keerom maka Golkar sendiri akan menuai badai kekalahan pada tiga pesta demokrasi yang tersebur di atas di wilayah perbatasan antarnegara RI dengan PNG ini.

Pada ssat ini, politik pencalonan Cawabup Keerom menapaki titik sangat krusial. Golkar akhirnya harus berhadapan langsung dengan dua kekuatan pengaruh terbesar di Keerom yaitu institusi agama dan adat yang dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia diakui dan diperhitungkan.

Dua institusi ini sudah diakui keberadaan dan pengaruhnya sejak zaman sebelum Papua berintegrasi dengan NKRI dan selama Papua berada dalam pangkuan ibu pertiwi Indonesia.*